Gubernur BI Perry Warjiyo. Foto: Tangkapan layar YouTube.
Insi Nantika Jelita • 17 September 2025 17:39
Jakarta: Perlambatan penyaluran kredit perbankan menjadi perhatian serius Bank Indonesia. Hal ini sejalan dengan upaya Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang agresif menekan bunga perbankan lewat gelontoran dana pemerintah ke lima bank Himbara sebesar Rp200 triliun.
Untuk mendorong percepatan intermediasi keuangan, BI mengambil langkah agresif dengan kembali memangkas suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur 16–17 September 2025. Suku bunga acuan telah diturunkan enam kali sejak September 2024.
BI menilai percepatan penurunan bunga perbankan sangat penting agar penyaluran kredit dan pembiayaan dapat meningkat, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sejalan dengan Program Asta Cita Pemerintah.
"Penurunan suku bunga perbankan masih berjalan lambat dan karenanya perlu dipercepat," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG) September 2025 secara daring, Rabu, 17 September 2025.
Ia menjelaskan dibandingkan dengan penurunan BI-Rate sebesar 125 bps pada tahun ini, suku bunga deposito satu bulan hanya turun sebesar 16 bps dari 4,81 persen pada awal 2025 menjadi 4,65 persen pada Agustus 2025, terutama dipengaruhi oleh pemberian special rate kepada deposan besar yang mencapai 25 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) bank.
Kemudian, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tercatat berjalan lebih lambat, yaitu sebesar tujuh bps dari 9,20 persen pada awal 2025 menjadi sebesar 9,13 persen pada Agustus 2025.
"Bank Indonesia memandang suku bunga deposito dan kredit perbankan perlu segera turun sehingga dapat meningkatkan penyaluran kredit/pembiayaan," kata Perry.
Pihaknya menilai pertumbuhan kredit perbankan perlu terus didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kredit perbankan pada Agustus 2025 dinilai belum kuat, meskipun meningkat dari Juli 2025 sebesar 7,03 persen (yoy) menjadi 7,56 persen (yoy) pada Agustus 2025.
Pelaku usaha masih 'wait and see'
Dari sisi permintaan, belum kuatnya perkembangan kredit dipengaruhi oleh sikap menunggu pelaku usaha (
wait and see), suku bunga kredit yang masih tinggi, dan lebih besarnya pemanfaatan dana internal untuk pembiayaan usahanya. Perkembangan ini mengakibatkan fasilitas pinjaman yang belum dicairkan masih cukup besar.
"Ini tecermin dari rasio
undisbursed loan pada Agustus 2025 yang mencapai Rp2.372,11 triliun atau 22,71 persen dari plafon kredit yang tersedia," jelas Perry.
Rasio
undisbursed loan terbesar terutama pada sektor Industri, pertambangan, jasa dunia usaha, dan perdagangan, dengan jenis kredit modal kerja.
Dari sisi penawaran, lanjut Perry, kenaikan kredit didukung oleh longgarnya likuiditas perbankan sebagaimana tecermin dari tingginya Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25 persen pada Agustus 2025 sejalan dengan ekspansi likuiditas moneter dan KLM Bank Indonesia, serta minat penyaluran kredit
perbankan yang membaik sebagaimana tecermin pada persyaratan pemberian kredit (
lending requirement).
Namun demikian, Perry menyebut tingginya suku bunga kredit masih menjadi salah satu faktor penahan peningkatan kredit atau pembiayaan lebih lanjut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan perbankan. Secara keseluruhan, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan kredit perbankan pada 2025 berada dalam kisaran delapan persen sampai 11 persen.
(Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: MI/Ramdani)
Penempatan dana Rp200 triliun tekan bunga kredit bank
Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke bank Himpunan Milik Negara (Himbara) dapat menekan bunga kredit perbankan. Itu karena bank bakal memiliki likuiditas yang cukup cair sehingga tak perlu mematok bunga kredit tinggi untuk mendapatkan pemasukan.
"Kalau mereka belum bisa nyalurin karena mereka punya uang lebih. Dia enggak akan perang bunga lagi, bunga akan cenderung turun, itu akan berdampak ke ekonomi dengan itu sendiri. Bisa bunga pinjaman turun, bisa juga bunga deposit turun, yang jelas cost of money turun," jelas Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Senin, 15 September 2025.
Purbaya menjelaskan, penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun itu sejatinya memang bertujuan mendorong perbankan untuk lebih gencar mengguyur kredit. Bank diharapkan tak lagi menahan-nahan penyaluran kredit, apalagi menggunakan likuiditasnya untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) maupun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sebab, pembelian SBN dan SRBI oleh bank menyebabkan likuiditas di perekonomian kering, dan terbatasnya peredaran uang di masyarakat. Karenanya, Purbaya mendorong agar bank, utamanya Himbara, lebih kreatif dan mau menyalurkan kredit ke masyarakat dan sektor riil.