Ilustrasi. Foto: dok MI/Sumaryanto.
Ade Hapsari Lestarini • 6 February 2025 14:49
Jakarta: Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan IV-2024 yang tercatat sebesar 5,02 persen (y-on-y). Angka ini membuat pertumbuhan ekonomi tumbuh 5,03 persen secara keseluruhan pada 2024.
Capaian ini menandakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami stagnasi jika dibandingkan dengan capaian di 2023. Tren deflasi yang terjadi secara berturut-turut serta pelemahan Purchasing Managers' Index (PMI) sepanjang triwulan IV-2024 menjadi indikasi awal terjadinya pelemahan baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Kondisi ini menegaskan perekonomian Indonesia masih menghadapi tantangan struktural yang serius. Hal ini menjadi alasan capaian pertumbuhan pada triwulan IV-2024 lebih lambat 0,02 persen dibandingkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) Indef Andry Satrio Nugroho, menegaskan 2025 akan semakin sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas lima persen jika tidak ada langkah yang serius dilakukan oleh Pemerintah.
"Indonesia saat ini mengalami tantangan struktural yang serius, dapat dilihat dari sisi daya beli masyarakat terus tergerus dan pelemahan industri yang cukup serius, sehingga dibutuhkan paket kebijakan stimulus untuk membangkitkan kedua hal tersebut," ungkap Andry, dalam keterangan tertulis, Kamis, 6 Februari 2025.
Pemerintah perlu segera mengeluarkan paket kebijakan stimulus industri dan hilirisasi, antara lain:
- Memastikan harga energi kompetitif dengan memberikan keringanan bagi industri untuk membayar listrik dan penyaluran Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sesuai dengan volume yang ditetapkan.
- Menurunkan biaya logistik melalui penurunan tarif tol khusus bagi kendaraan logistik.
- Mengevaluasi kebijakan lartas dan perlindungan pasar domestik.
- Menurunkan pungutan dan iuran yang dibebankan kepada perusahaan serta mendorong pemberantasan pungutan liar yang marak terjadi.
- Mendorong penyaluran kredit bagi industri manufaktur dan mendirikan lembaga penjaminan investasi khusus bagi proyek-proyek hilirisasi.
Ilustrasi. Foto: dok MI/Ramdani
Peran belanja pemerintah
Sementara itu, Ekonom CITI Indef Dzulfian Syafrian menyoroti peran belanja pemerintah yang selama ini juga menjadi salah satu motor utama penggerak ekonomi.
"Dengan adanya kebijakan efisiensi belanja pemerintah hari ini, maka beban untuk menjaga pertumbuhan ekonomi harus dialihkan ke sektor swasta. Masalahnya, apakah kemudahan berusaha, situasi industri, iklim investasi, dan kebijakan insentif sudah cukup mendorong swasta untuk berperan lebih besar? Tanpa kebijakan yang lebih progresif dan konkret, pertumbuhan di atas lima persen apalagi cita-cita delapan persen ini bisa jadi utopis," tegas dia.
Selain itu, Indef juga mencatat pertumbuhan ekonomi sektor manufaktur yang berperan sebagai pencipta lapangan kerja berkualitas pada 2024 hanya tumbuh sebesar 4,43 persen. Hal ini menegaskan sektor industri masih menghadapi berbagai kendala struktural.
Sementara dari sisi investasi, realisasi penanaman modal (PMA dan PMDN) selama triwulan IV-2024 mencapai Rp452,8 triliun, meningkat sebesar 23,8 persen (y-on-y). Namun, peningkatan investasi ini belum sepenuhnya terserap ke sektor produktif yang berkontribusi langsung pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya saing industri domestik.
Perkembangan ekspor dan impor juga mencerminkan ketidakseimbangan dalam ekonomi Indonesia. Nilai ekspor barang pada triwulan IV-2024 mencapai USD71,88 miliar, meningkat 8,04 persen (y-on-y), sementara nilai impor barang mencapai USD62,79 miliar, meningkat 9,46 persen (y-on-y).
Defisit perdagangan barang menunjukkan pertumbuhan ekonomi masih bergantung pada impor bahan baku dan barang modal yang mencerminkan lemahnya kapasitas industri dalam negeri.
"Indef mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna mencapai pertumbuhan ekonomi di atas lima persen dan membuat pembangunan Indonesia menjadi lebih berkualitas dan inklusif," kata dia.
Kebijakan yang hanya berorientasi pada angka pertumbuhan tanpa memperhatikan kualitasnya akan menjadi bumerang di masa depan. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis untuk menguatkan daya beli masyarakat, mendorong peran swasta, menarik investasi produktif, serta memperbaiki iklim bisnis harus menjadi prioritas utama pemerintah ke depan.