Podium Media Indonesia: Nepal dan Paradoks Cile

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Nepal dan Paradoks Cile

Abdul Kohar • 13 September 2025 06:54

MELIHAT Nepal yang membara hari-hari ini saya jadi tertarik menghadirkan kembali tulisan saya pada kolom ini, awal 2024 lalu, berjudul Paradoks Cile. Ada kemiripan antara kejadian Nepal baru-baru ini dan peristiwa di Cile pada akhir 2019 lalu. Kemiripannya: sama-sama bergejolak saat perekonomian di kedua negara itu sedang menggeliat.

Di Cile, fenomena itu dikenal sebagai The Chilean Paradox. Paradoks Cile ialah situasi yang terjadi ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa dibarengi dengan memperhatikan dan memfasilitasi kepentingan kelas menengah. Ekonomi moncer, tapi yang melulu diurus ialah kelas bawah. Rupa-rupa bantuan sosial digenjot. Di kelas atas, kenyamanan didapat. Mereka tak 'tersentuh' guncangan apa pun.

The Chilean Paradox terjadi ketika kondisi negara itu sedang bagus-bagusnya. Cile merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%, lebih baik daripada Indonesia. Meski dengan semua pencapaian moncer itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung pada revolusi.

Peristiwa itulah yang kemudian disebut dengan istilah The Chilean Paradox. Kerusuhan terjadi justru ketika ekonomi sedang bagus-bagusnya dan kemiskinan sudah sangat sukses ditekan. Perkaranya disulut oleh kaum menengah yang lalai diperhatikan.

Kerusuhan tersebut dimotori oleh kelas menengah Cile yang merasa tidak puas dengan pemerintahan. Kebijakan-kebijakan pemerintah Cile saat itu memang terlalu fokus kepada 10% masyarakat terbawah, sedangkan kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak kurang mendapatkan perhatian.
 

Baca: Kemlu Pastikan 134 WNI di Nepal dalam Kondisi Aman

Salah satu contohnya ialah penaikan tarif transportasi umum di jam-jam sibuk sebesar US$1,17 atau sekitar Rp16 ribu pada September 2019. Padahal, sembilan bulan sebelumnya (pada Januari), ongkos transportasi umum setempat sudah dinaikkan. Keputusan itu jelas memukul kaum menengah pekerja.

Karena itu, demonstrasi pecah di ibu kota Cile, Santiago. Lebih dari 1 juta orang turun ke jalan. Aksi demo bahkan berlangsung sangat keras dan menewaskan 18 orang. Sebagian besar korban meninggal akibat terjebak saat menjarah toko yang kemudian dibakar. Presiden Cile saat itu, Sebastian Pinnera, sampai mengumumkan reshuffle besar-besaran pada kabinet.

Lalu, bagaimana dengan Nepal? Hampir sama. Kemarahan anak muda di Nepal semakin mengerikan. Unjuk rasa yang dipicu oleh larangan penggunaan media sosial berujung ricuh hingga menelan korban jiwa. Aksi itu juga menggambarkan kekecewaan masyarakat Nepal terhadap kondisi perekonomian yang tersendat, pengangguran di mana-mana, korupsi merajalela, hingga ketidakstabilan politik.

Padahal Nepal sedang naik kelas meski tak tinggi-tinggi amat. Nepal terbebas dari 10 teratas negara termiskin. Mengutip data Bank Dunia (World Bank), Nepal tercatat sebagai negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower middle income). Pendapatan per kapita negara tersebut berada di level US$1.447,3 pada 2024.

Dengan jumlah itu, Nepal telah melepas status sebagai salah satu dari 10 negara termiskin di dunia berdasarkan klasifikasi dari World Population Review. Dalam klasifikasi Bank Dunia, negara berpendapatan menengah ke bawah memiliki pendapatan per kapita di rentang US$1.136-US$4.495.

Dari sisi ekonomi, Bank Dunia mencatat pertumbuhan ekonomi Nepal mengalami percepatan pada paruh pertama tahun fiskal 2025 (H1FY25). PDB riil tumbuh sebesar 4,9%, naik dari 4,3% pada paruh pertama tahun fiskal 2024. Pertumbuhan itu didorong terutama oleh sektor pertanian dan industri meskipun terjadi perlambatan di sektor jasa.

Nepal juga mencatat inflasi rendah sebesar 5%, turun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 6,5%. Penurunan itu terutama disebabkan oleh inflasi nonmakanan dan jasa, terutama di perumahan, utilitas, dan layanan restoran. Namun, inflasi makanan dan minuman tetap tinggi di 7,5% dengan harga sayuran melonjak 26,6%. Bank Dunia juga memperkirakan ekonomi Nepal akan tumbuh rata-rata 5,4% per tahun pada 2026-2027.

Meski keluar dari status negara miskin, Nepal masih menghadapi banyak persoalan terkait dengan kelas menengah mereka. Tantangan struktural yang signifikan terus menghambat pertumbuhan domestik dan penciptaan lapangan kerja. Produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan masih rendah. Persaingan yang lemah di bidang logistik dan transportasi, serta infrastruktur yang kurang memadai, membatasi ekspor sehingga tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi riil selama beberapa dekade terakhir.

Mengutip Times of India tingkat pengangguran anak muda, khususnya generasi Z, mencapai 20,8%. Secara nasional, tingkat pengangguran Nepal konsisten berada di atas 10% selama beberapa tahun terakhir dan mencapai 10,7% pada 2024. Angka-angka itu menggumpal menjadi keresahan bersama, ditambah dengan gaya hidup pejabat dan keluarga pejabat yang gemar pamer.

Karena itu, penutupan medsos akibat para pemilik medsos itu tidak patuh terhadap aturan Nepal sebenarnya hanya pemicu. Mirip seperti Cile, dalam gambaran makroekonomi, angka-angka statistik memang moncer. Namun, kelas menengah lalai diurus. Mereka inilah kaum cerdas yang pasti akan 'cerewet' terhadap keadaan.

Lalu, bagaimana dengan kita di Indonesia? Secara makroekonomi, angka statistik menunjukkan tanda-tanda positif. Namun, tanda-tanda lain yang berhubungan dengan hal-hal lebih mikro, seperti kelas menengah yang terengah-engah, mestinya tidak boleh diremehkan. Meskipun kondisi Paradoks Cile atau paradoks Nepal itu tidak terjadi di Indonesia, mengabaikannya sama sekali jelas bukan langkah yang bijak. Maukah negeri ini mendengar, mencatat, dan menindaklanjuti?

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)