Rombongan warga Afrika Selatan yang tiba di Amerika Serikat. Foto: The New York Times
Washington: Sekitar 50 warga kulit putih Afrika Selatan tiba di Amerika Serikat (AS) pada Senin 12 Mei 2025 setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberi mereka status pengungsi, dengan alasan genosida. Trump, yang telah menghentikan penerimaan pengungsi, membuat pengecualian bagi warga Afrikaner meskipun Pretoria menyangkal klaim penganiayaan.
Sekelompok sekitar 50 warga kulit putih Afrika Selatan tiba pada hari Senin untuk pemukiman kembali di Amerika Serikat setelah Presiden Donald Trump memberi mereka status pengungsi sebagai korban dari apa yang disebutnya ‘genosida’.
Trump pada dasarnya menghentikan kedatangan pengungsi setelah menjabat, tetapi membuat pengecualian bagi warga Afrikaner meskipun Pretoria bersikeras bahwa mereka tidak menghadapi penganiayaan di tanah air mereka.
"Selamat datang di tanah kebebasan," kata Wakil Menteri Luar Negeri Chris Landau saat menyambut warga Afrika Selatan, beberapa di antaranya melambaikan bendera Amerika kecil, di Bandara Dulles di Virginia setelah penerbangan mereka dari Johannesburg.
"Kami mengirimkan pesan yang jelas bahwa Amerika Serikat benar-benar menolak penganiayaan yang mengerikan terhadap orang-orang atas dasar ras di Afrika Selatan," kata Landau, seperti dikutip AFP, Selasa 13 Mei 2025.
Berbicara di Gedung Putih sesaat sebelum kedatangan kelompok tersebut, Trump, yang diperkirakan akan bertemu dengan para pemimpin Afrika Selatan minggu depan, mengatakan bahwa orang-orang Afrikaner melarikan diri dari "situasi yang mengerikan" di kampung halaman.
Trump, yang sekutu taipannya Elon Musk lahir di Afrika Selatan, mengatakan bahwa petani kulit putih dibunuh di negara itu dan mengulangi tuduhan ‘genosida’ yang secara luas dianggap tidak masuk akal.
"Ini adalah situasi yang mengerikan yang sedang terjadi," kata presiden.
"Jadi, pada dasarnya kami telah memberikan kewarganegaraan kepada orang-orang tersebut untuk melarikan diri dari kekerasan itu dan datang ke sini,” ujar Trump.
“Mereka yang dimukimkan kembali kebetulan berkulit putih, tetapi bagi saya tidak ada bedanya apakah mereka berkulit putih atau hitam," kata Trump.
Afrika Selatan tolak klaim
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menolak klaim bahwa orang-orang Afrikaner sedang dianiaya dan mengatakan bahwa dia baru-baru ini memberi tahu Trump bahwa apa yang dikatakan kepadanya tentang situasi mereka "tidak benar".
"Pengungsi adalah seseorang yang harus meninggalkan negaranya karena takut akan penganiayaan politik, penganiayaan agama, atau penganiayaan ekonomi. Dan mereka tidak termasuk dalam golongan itu,” kata Ramaphosa.
"Kami adalah satu-satunya negara di benua ini tempat para penjajah datang untuk tinggal dan kami tidak pernah mengusir mereka dari negara kami," tambah Ramaphosa dalam sebuah forum di Abidjan.
Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Ronald Lamola juga mencemooh klaim bahwa warga Afrikaner kulit putih menghadapi penganiayaan atau menjadi sasaran pembunuhan.
Sebagian besar korban pembunuhan di Afrika Selatan adalah pemuda kulit hitam di daerah perkotaan, menurut data resmi.
"Kejahatan yang terjadi di Afrika Selatan memengaruhi semua orang tanpa memandang ras dan jenis kelamin," kata Lamola.
Sangat tidak masuk akal
Berdasarkan pedoman kelayakan yang diterbitkan oleh kedutaan AS, pelamar untuk pemukiman kembali di AS harus berasal dari etnis Afrikaner atau berasal dari ras minoritas di Afrika Selatan.
Mereka juga harus "mampu mengartikulasikan pengalaman penganiayaan di masa lalu atau ketakutan akan penganiayaan di masa mendatang".
Trump dan Musk menuduh pemerintah Afrika Selatan menargetkan warga Afrikaner dengan undang-undang perampasan tanah kontroversial yang diberlakukan tahun ini.
Pada hari Senin, Trump mengancam tidak akan menghadiri pertemuan puncak G20 mendatang di Afrika Selatan kecuali "situasinya ditangani".
Mitra dagang terbesar Amerika di Afrika juga dikecam oleh Washington karena memimpin kasus di Mahkamah Internasional yang menuduh sekutu AS, Israel, melakukan tindakan "genosida" dalam serangannya ke Gaza, klaim yang dibantah Israel.
Banyak yang menyatakan heran bahwa orang kulit putih dapat diberi status korban di Afrika Selatan. Penulis Afrikaner terkemuka Max du Preez mengatakan pemukiman kembali itu "sangat tidak masuk akal".
"Ini tentang Trump dan MAGA, bukan tentang kita. Ini tentang kebencian mereka terhadap DEI," katanya kepada AFP, merujuk pada program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi yang telah menjadi target favorit Trump.
"Orang-orang yang sekarang melarikan diri mungkin termotivasi oleh pertimbangan finansial dan/atau keengganan untuk hidup dalam masyarakat pasca-apartheid di mana orang kulit putih tidak lagi memegang kendali," kata Preez.
Warga kulit putih, yang merupakan 7,3 persen dari populasi, umumnya menikmati standar hidup yang lebih tinggi daripada mayoritas kulit hitam. Mereka masih memiliki dua pertiga lahan pertanian dan rata-rata memperoleh penghasilan tiga kali lebih banyak daripada orang kulit hitam Afrika Selatan.
Pemerintah yang dipimpin oleh orang Afrikaner memberlakukan sistem apartheid berbasis ras yang menolak hak politik dan ekonomi orang kulit hitam hingga sistem tersebut dihapuskan pada tahun 1994.