Status UMKM untuk Ojol Dinilai Perlu Dikaji Ulang Jelang May Day 2025

Ilustrasi unjuk rasa driver ojol. Foto: dok Medcom.id/Desi.

Status UMKM untuk Ojol Dinilai Perlu Dikaji Ulang Jelang May Day 2025

M Rodhi Aulia • 29 April 2025 15:57

Jakarta: Menjelang peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2025, wacana pengategorian pengemudi ojek online (ojol) sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menuai sorotan. Sebagian pihak menilai pendekatan tersebut belum menjawab persoalan struktural yang dihadapi para pengemudi di era kerja berbasis digital.

Direktur Eksekutif Migrant Watch yang juga pengamat ketenagakerjaan, Aznil Tan, mengingatkan bahwa penempatan ojol sebagai pelaku UMKM bisa berisiko menutupi hubungan kerja yang sesungguhnya terjadi. Ia menilai para pengemudi bekerja di bawah sistem yang mengandung elemen kontrol dan ketergantungan tinggi terhadap platform.

"Ini bukan solusi. Ini adalah upaya memutihkan praktik eksploitatif. Para pengemudi bekerja di bawah kendali ketat algoritma, ada target, ada penalti tersembunyi. Ini semua adalah karakteristik pekerja, bukan pelaku usaha mandiri," kata Aznil di Jakarta, Selasa, 29 April 2025.

Menurutnya, jika skema UMKM diterapkan begitu saja, persoalan utama seperti ketimpangan relasi kuasa antara perusahaan aplikasi dan pengemudi tidak akan terselesaikan. Ia menyoroti bahwa tarif, alur kerja, hingga pendapatan, seluruhnya ditentukan oleh aplikator tanpa ruang perundingan yang setara.

Baca juga: Apa Itu May Day Setiap 1 Mei? Simak Fakta-fakta Ini

"Bagaimana mungkin mereka disebut UMKM sementara mereka sepenuhnya bergantung pada aplikator yang mengatur tarif, membatasi akses order, dan menentukan pendapatan tanpa ada perundingan setara? Ini bentuk pengingkaran terhadap relasi kuasa yang timpang antara perusahaan digital dengan para pengemudi," tegasnya.

Aznil juga mengkritisi argumen pemerintah yang menyebutkan bahwa hanya sebagian kecil pengemudi yang bisa diserap jika dijadikan pekerja formal. Ia menilai pendekatan tersebut justru mengabaikan peran negara dalam menciptakan sistem kerja yang adil.

"Kalau saat ini 5 juta pengemudi bisa bekerja di platform, itu bukti bahwa pasar memang membutuhkan mereka. Dalih 'hanya 10% terserap' adalah manipulasi ketakutan untuk membenarkan eksploitasi. Berapa pun jumlah yang terserap itu soal supply and demand. Tugas negara adalah memperbaiki regulasi agar adil, bukan membiarkan ketidakadilan demi alasan mempertahankan pekerjaan," katanya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan keprihatinan atas praktik rekrutmen pengemudi secara masif yang tidak disertai perhitungan terhadap dampak ekonomi para pekerja. Situasi tersebut, menurutnya, berpotensi memperparah ketimpangan penghasilan.

"Over kapasitas dalam perekrutan adalah bukti eksploitasi. Aplikator merekrut sebanyak mungkin tanpa memperhitungkan kelayakan penghasilan pengemudi. Yang rugi para ojol, yang untung aplikator. Ini pemanfaatan manusia secara masif demi kepentingan korporasi," ujarnya.

Sebagai penutup, ia menyerukan agar May Day 2025 dijadikan momentum bagi para pekerja digital untuk menyuarakan aspirasi dan mendorong lahirnya regulasi yang melindungi hak-hak mereka.

"Sistem perbudakan digital ini harus dilawan. Pada May Day 2025, seluruh pekerja digital—ojol, kurir, pekerja lepas platform—harus bersatu, bangkit, dan menuntut hak-haknya. Saatnya Indonesia membentuk Undang-Undang Pelindungan Pekerja Digital!" pungkasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Rodhi Aulia)