Jakarta: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menilai Kejaksaan sebaiknya tetap berfokus pada tugas penuntutan dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah digodok DPR dan pemerintah. Sementara itu, tugas penyidikan sebaiknya tetap menjadi ranah Kepolisian sebagaimana yang berjalan selama ini.
"Kejaksaan atas nama negara memang merupakan pemilik perkara atau pemegang perkara, yang dalam hukum dikenal dengan istilah dominus litis. Namun, ada beberapa pengecualian seperti dalam tindak pidana korupsi, di mana KPK juga diberi kewenangan untuk menangani perkara tersebut," kata Jimly saat dihubungi wartawan, Rabu, 12 Maret 2025.
Jimly menjelaskan bahwa KPK dan Kejaksaan sama-sama memiliki kewenangan dalam menangani perkara korupsi, meskipun KPK memiliki batasan tertentu, misalnya hanya menangani kasus dengan nilai di atas Rp1 miliar.
Lebih lanjut, Jimly menerangkan bahwa secara umum jaksa bertugas sebagai penuntut hingga eksekusi putusan pengadilan, sedangkan penyidikan dilakukan oleh Kepolisian dan penyidik lain yang tergabung dalam Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Saat ini, jumlah PPNS tercatat mencapai 56 instansi, dan rencananya akan bertambah satu lagi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Selama ini koordinasi PPNS dilakukan melalui Kepolisian, tetapi dinilai kurang efektif karena harus disidik ulang. Mungkin lebih baik jika koordinasinya langsung ke Kejaksaan sebagai pemilik perkara," ujar Jimly.
Jimly mengingatkan agar pembahasan RKUHAP tidak mengurangi kewenangan Kepolisian dalam proses penegakan hukum. Menurutnya, sistem yang sudah berjalan selama ini sebaiknya tetap dipertahankan.
"Jangan sampai Kepolisian justru kehilangan peran. Kalau memang ingin perubahan, lebih baik Kejaksaan tidak usah melakukan penyidikan dan tetap fokus pada penuntutan, sementara penyidikan tetap menjadi tugas Kepolisian," katanya.
Meski begitu, Jimly tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian bagi Kejaksaan untuk langsung melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana khusus seperti korupsi, tindak pidana pencucian uang (TPPU), dan terorisme.
Jimly juga mengingatkan agar pembahasan RKUHAP melibatkan partisipasi publik guna menghindari potensi gugatan judicial review di MK, seperti yang terjadi pada Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Ia menekankan bahwa syarat pembentukan undang-undang adalah adanya meaningful participation atau partisipasi publik yang bermakna.
"Putusan MK sudah jelas, partisipasi publik yang bermakna adalah syarat mutlak dalam pembentukan undang-undang. Jika tidak terpenuhi, maka RKUHAP bisa dibatalkan melalui uji formil, seperti yang terjadi pada UU Ciptaker," tegasnya.