Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan Komunikasi Kebijakan: Paket Ekonomi Keuangan Menuju Solusi Krisis

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Biro KLI Kemenkeu.

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan Komunikasi Kebijakan: Paket Ekonomi Keuangan Menuju Solusi Krisis

16 September 2025 11:42

Oleh: Dr. Kennorton Hutasoit*

Hari-hari awal Purbaya Yudhi Sadewa menjabat Menteri Keuangan RI langsung penuh guncangan. Ucapannya yang viral "Jika ekonomi tumbuh 6-7 persen, tuntutan 17+8 akan otomatis hilang" memicu gelombang kritik di media sosial. Publik menilai pernyataan itu meremehkan suara rakyat yang turun ke jalan pada demonstrasi Agustus lalu, yang membawa 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang, mulai dari reformasi DPR, penarikan TNI dari ruang sipil, hingga jaminan upah layak. Sentimen negatif mendominasi perbincangan publik.

Namun beberapa pekan kemudian, peta berubah. Kebijakan cepat Purbaya melakukan injeksi likuiditas Rp200 triliun ke perbankan, stimulus ekonomi Rp16,23 triliun, hingga program Koperasi Merah Putih di desa memberi sinyal aksi nyata.

Paket ekonomi keuangan ini menjadi sorotan media. Media mulai mengangkat narasi positif ada "secercah harapan" pada langkah Menkeu baru ini menuju solusi krisis. Gelombang demonstrasi Agustus lalu yang membawa tuntutan 17+8 dapat ditandai sebagai krisis, setidaknya krisis komunikasi antara pemeritah dan publik dalam mengatasi persoalan bangsa. 

Menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA), pernyataan Purbaya mencerminkan framing pemerintah yang melihat masalah utama sebagai pertumbuhan ekonomi yang tertahan. Narasi yang dibangun Purbaya pada awalnya deterministik dengan pandangan jika ekonomi tumbuh, protes akan surut.

Namun, setelah kritik publik meluas, Purbaya merevisi nada komunikasinya. Ia mengatakan, "Tugas sebagai Menkeu tidak mudah. Saya sadar ekspektasi publik sangat tinggi, tetapi saya yakin dengan kebijakan yang tepat kita bisa keluar dari krisis ini." Dengan metode CDA, pergeseran ini dapat dibaca sebagai reframing pemerintah mulai mengakui tekanan sosial dan mencoba mendekati frame publik yang menuntut keadilan, bukan sekadar pertumbuhan.

Langkah kebijakan Purbaya memang menjawab sebagian tuntutan 17+8, terutama yang terkait ekonomi: pencegahan PHK, dialog buruh, dan daya beli masyarakat. Namun, gap wacana tetap lebar. Isu politik dan HAM seperti penyelidikan korban kekerasan, penghentian kriminalisasi demonstran, dan pembekuan fasilitas DPR belum tersentuh oleh kebijakan fiskal.

Menggunakan Policy Cycle Theory, respons Purbaya bisa dibaca sebagai lompatan dari agenda setting langsung ke implementasi, melewati tahap formulasi partisipatif. Menurut Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) Model, komunikasi pemerintah baru berada di tahap maintenance, meredakan situasi dengan stimulus ekonomi, belum sampai tahap resolution yang memulihkan kepercayaan publik.

Di saat yang sama, ruang publik diwarnai narasi keamanan. Menyikapi gelombang demonstrasi pada Agustus lalu, Presiden Prabowo menyebut ada "gejala makar", menandai eskalasi wacana dari krisis ekonomi ke krisis politik. Usulan darurat militer sempat muncul, menimbulkan kekhawatiran publik. Isu darurat militer adalah isu sangat sensitif. Wacana semacam itu membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan jika tidak diimbangi kontrol demokratis.

Dengan pendekatan CDA, dapat dibaca pernyataan tentang "gejala makar" dan isu darurat militer sebagai bagian dari wacana keamanan yang bisa memperluas kerangka krisis dari ekonomi menjadi politik dan keamanan. Pemerintah harus menunjukkan bahwa pengamanan tidak menjadi alasan untuk membungkam suara rakyat.

Namun, dalam dialog dengan Gerakan Nurani Bangsa, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya menjaga supremasi sipil. Di sinilah komunikasi politik berperan vital, pemerintah harus berhati-hati agar narasi makar tidak menjadi alat pembenaran tindakan represif. Menggunakan Framing Theory, ada dua bingkai yang saling berhadapan yaitu pemerintah menekankan ancaman terhadap stabilitas negara, sementara publik menuntut akuntabilitas aparat dan penghormatan kebebasan sipil. 

Penting dicatat pembentukan tim investigasi independen atas insiden demonstrasi adalah langkah maju. Namun, kredibilitas tim akan diuji pada dua hal yaitu independensinya dari intervensi politik dan kemampuannya menghasilkan temuan yang transparan. Tanpa itu, wacana supremasi sipil hanya akan menjadi jargon. Publik menanti keadilan bagi korban, bukan sekadar pernyataan moral.

Mengutip teori komunikasi kebijakan, legitimasi sebuah kebijakan krisis tidak hanya ditentukan oleh substansi kebijakan, tetapi juga oleh persepsi keadilan dan partisipasi publik dalam prosesnya.

Kritik konstruktif harus diarahkan pada dua sisi. Pertama, pemerintah perlu memperluas bingkai komunikasi, bukan hanya "ekonomi tumbuh", tetapi juga "keadilan ditegakkan". Kebijakan fiskal harus diikuti langkah konkret pemulihan rasa keadilan, termasuk penghentian kekerasan aparat dan penuntasan pelanggaran HAM. Kedua, wacana keamanan harus diimbangi dengan transparansi. Jika benar ada indikasi makar, pemerintah harus membuka data dan fakta agar tidak memicu paranoia publik. Supremasi sipil bukan sekadar janji, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan dan pengawasan sipil atas aparat.

Purbaya sudah memulai dengan stimulus dan koperasi, tetapi harus memperkuat dialog sosial, mempercepat penyaluran dana agar manfaat terasa di akar rumput, serta menyelaraskan kebijakan fiskal dengan tuntutan keadilan. Setelah investigasi independen rampung dalam waktu yang tidak terlalu lama nanti, Pemerintah perlu mengumumkan hasil investigasi independen tersebut secara terbuka dan menindak aparat yang terbukti melanggar hukum. Krisis sosial adalah ujian bagi komunikasi kebijakan publik. 

Purbaya telah menunjukkan keberanian bertindak cepat, tetapi komunikasi yang menyatukan harus tetap menjadi prioritas. Di tengah turbulensi politik, langkah-langkah ekonomi pro-growth adalah awal yang baik, tapi harus dibarengi dengan empati dan keterbukaan. Jika pemerintah mampu menjembatani jurang wacana antara rakyat dan pemerintah, krisis ini bisa menjadi momentum lahirnya kebijakan yang lebih inklusif dan pemerintahan yang lebih dipercaya. 

Pemerintah untuk memenuhi tuntutan 17+8, dapat sekaligus menggabungkan langkah ekonomi dengan agenda reformasi politik yang inklusif. Tuntutan 17+8 adalah ujian kedewasaan demokrasi. Pertumbuhan ekonomi penting, tetapi tidak cukup. Publik menunggu langkah yang menyeimbangkan pemulihan ekonomi dengan rekonsiliasi sosial dan penguatan demokrasi. Jika ini dilakukan, krisis bisa menjadi batu loncatan menuju negara yang lebih kuat, bukan titik balik kemunduran. Harapan itu ada dan kesempatan untuk membuktikannya masih terbuka.


*Penulis adalah Jurnalis Metro TV – Doktor Ilmu Komunikasi

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)