Ilustrasi penambangan batu bara. Foto: MI/Angga Yuniar
Annisa ayu artanti • 28 July 2023 18:59
Jakarta: Ketua Umum APBI-ICMA Pandu Sjahrir menyatakan keberatan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor Dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (PP DHE SDA).
Dia bilang, adanya regulasi anyar itu menimbulkan kewajiban baru yang menambah beban eksportir. Padahal, ekspor komoditas batu bara selama ini menjadi salah satu andalan perekonomian nasional baik melalui penerimaan negara pajak dan non-pajak, devisa ekspor, hingga penciptaan lapangan kerja.
"Kontribusi dari sektor industri pertambangan batu bara sangat penting dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional. Namun dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2023 menimbulkan kewajiban baru yang menambah beban eksportir," katanya dalam siaran pers, Jumat, 28 Juli 2023.
PP yang menggantikan PP Nomor 1 Tahun 2019 dan akan berlaku efektif per 1 Agustus 2023 tersebut antara lain mengatur kewajiban penempatan minimal 30 persen DHE SDA ke sistem keuangan Indonesia selama paling kurang tiga bulan.
"Aturan tersebut tentu akan menyulitkan eksportir dalam mengelola arus kas (cash flow), terlebih margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30 persen maka dengan demikian modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir pun akan tertahan ditengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional," ungkapnya.
Sejak semester II-2022, Pandu menjelaskan, tren harga batu bara mengalami penurunan yang tajam sementara disisi lain biaya operasional semakin meningkat. Biaya operasional penambang batubara di tahun 2023 diperkirakan meningkat rata-rata 20-25 persen akibat kenaikan biaya bahan bakar, stripping ratio yang semakin besar sehingga biaya penambangan semakin tinggi, pengaruh inflasi.
Selain itu, kenaikan beban biaya penambang juga semakin berat dengan telah dinaikkannya tarif royalti. Adapu tarif royalti pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik dari rentang tarif 3-7 persen menjadi 5-13 persen yang diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2022 yang berlaku Agustus 2022 yang lalu.
Sementara bagi pemegang IUPK-Kelanjutan Operasi Produksi (eks-PKP2B), tarif royalti tertinggi mencapai 28 persen yang diatur dalam PP Nomor 15 Tahun 2022.
Disamping itu, perusahaan eksportir batu bara juga tidak dapat memaksimalkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas dalam dua tahun terakhir ini akibat masih lebarnya gap/disparitas antara Harga Batubara Acuan (HBA) dengan harga jual aktual.
Sampai saat ini sejak awal 2022, lebarnya gap antara HBA dan harga jual aktual menyebabkan perusahaan membayar kewajiban pembayaran royalti menjadi jauh lebih besar.
"Dengan beban semakin tinggi sementara tren harga terus turun maka profit margin semakin tergerus jauh dibawah 30 persen sehingga berpengaruh terhadap modal usaha. Hal ini menambah beban eksportir yang dituntut untuk melakukan dekarbonisasi di era transisi energi sementara pendanaan (funding) untuk proyek-proyek berbasis batubara semakin sulit," ungkapnya.
APBI-ICMA, kata Pandu, sebagai mendukung penguatan cadangan valuta asing nasional. Perusahaan-perusahaan anggota juga telah berupaya mengikuti aturan di dalam PP Nomor 1 Tahun 2019.
Namun, APBI-ICMA melihat penerbitan PP 36/2023 yang mengatur kewajiban penempatan DHE SDA akan menambah beban perusahaan ditengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional.
"Ini akan menyulitkan perusahaan dalam mengatur arus kas untuk berbagai kebutuhan mendesak, termasuk pembayaran ke kontraktor serta para vendor lainnya," ucapnya.