Pengiriman LPG melalui jalur laut dengan kapal Ro-Ro. Foto: Dok istimewa
whis • 15 December 2025 18:02
Jakarta: Distribusi Liquefied Petroleum Gas (LPG) di wilayah terdampak bencana alam dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Distribusi LPG jauh lebih kompleks dibandingkan dengan penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) ini penyebab utama kelambatan pasokan gas elpiji di daerah bencana seperti yang terjadi di Provinsi Aceh saat ini.
Pengamat ekonomi, Willy Arafah, menjelaskan bahwa kerusakan akses jalan merupakan faktor dominan yang dampaknya lebih besar terhadap logistik LPG. Kompleksitas ini diperparah oleh faktor keamanan dalam penanganan komoditas tersebut.
“Rusaknya akses jalan di Aceh memberikan dampak yang lebih besar terhadap distribusi LPG dibandingkan dengan BBM. Ini disebabkan infrastruktur untuk penyimpanan dan pengisian LPG yang lebih khusus dan terbatas. Ketika ada kerusakan, pasokan LPG bisa terhambat secara signifikan,” kata Willy Arafah, Guru Besar Universitas Trisakti, saat dihubungi Senin, 15 Desember 2025.
Menurutnya, risiko kebakaran yang lebih tinggi pada LPG juga membuat proses distribusinya memerlukan penanganan ekstra hati-hati, sehingga menjadi lebih rumit dalam kondisi darurat. Perbedaan mendasar dalam rantai pasok kedua jenis bahan bakar tersebut. Distribusi LPG sangat bergantung pada fasilitas khusus seperti tangki gas bertekanan dan Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE). Kerusakan pada titik-titik infrastruktur ini dapat langsung menghentikan aliran distribusi.
Baca Juga :
“Sebaliknya, BBM dapat disimpan dan didistribusikan melalui berbagai jenis fasilitas yang lebih umum, seperti SPBU, yang lebih mudah diakses dan jumlahnya lebih banyak,” jelas Willy.
Proses distribusi LPG hingga ke tangan konsumen juga lebih panjang. LPG harus dikirim dari pabrik ke SPBE menggunakan truk tangki khusus, lalu diisikan ke dalam tabung dengan standar keamanan ketat, sebelum akhirnya didistribusikan ke agen dan pangkalan. Aspek keamanan menjadi hal yang sangat penting. Meski sama-sama berisiko, penanganan BBM dinilai lebih terstandarisasi dan dapat dijalankan lebih cepat di lapangan.
“LPG memiliki risiko kebakaran dan ledakan yang lebih tinggi, sehingga memerlukan prosedur penanganan yang lebih ketat. Dalam situasi darurat, hal ini dapat memperlambat proses distribusi karena perlunya evaluasi keamanan yang lebih mendalam,” ujar Willy.
Ia menegaskan, fluktuasi permintaan yang tinggi pascabencana, ditambah dengan seluruh keterbatasan logistik dan keamanan tersebut, secara keseluruhan memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk menormalkan pasokan LPG. Willy meminta masyarakat untuk memahami bahwa keterlambatan distribusi LPG merupakan konsekuensi dari kerusakan infrastruktur dan prosedur keselamatan yang tidak dapat dikompromikan.
“Masyarakat perlu memahami beberapa hal penting. Ketergantungan pada infrastruktur yang baik, seperti jalan, terminal, dan fasilitas penyimpanan, sangat krusial. Kerusakan infrastruktur akibat bencana alam dapat mengganggu pasokan LPG secara signifikan,” pungkasnya.