100 Tahun Pramoedya Ananta Toer, Negara Harus Jamin Kebebasan Berekspresi dan Berpikir

Pramoedya Ananta Toer. DOK: Pribadi/Sewarga.com

100 Tahun Pramoedya Ananta Toer, Negara Harus Jamin Kebebasan Berekspresi dan Berpikir

Anggi Tondi Martaon • 6 February 2025 20:54

Jakarta: Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer hari ini, 6 Februari 2025, harus menjadi momentum kebebasan berekspresi dan berpikir. Negara tidak boleh memenjarakan warga negara hanya karena berkarya atau bersuara secara damai seperti yang pernah dialami oleh Pram. 

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), Pram adalah simbol kemerdekaan berpikir, bersuara, berpendapat, dan berkarya. Karya-karyanya pernah dibredel oleh negara sembari memenjarakan sastrawan besar Indonesia tersebut dari satu tempat ke tempat lainnya termasuk di Pulau Buru. 

“Separuh hidup Pram dihabiskan di penjara, separuhnya lagi di luar penjara dengan stigma negatif yang tak berdasar. Kebebasan Pram saat itu bukan merupakan hadiah negara, tapi desakan banyak pihak yang menyuarakan pembebasannya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melalui keterangan tertulis, Kamis, 6 Februari 2025.

Menurut dia, anak-anak muda menyukai dan terinspirasi oleh karya-karya Pram. Mereka harus terus melanjutkan perjuangan Pram dengan terus bersuara lantang atas ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. 

"Kebebasan Pram dirampas oleh negara. Ini menandakan betapa kuatnya menulis sebagai ekspresi dari kebebasan asasi yang mestinya dilindungi oleh negara,” ungkap dia.
 

Baca juga: Gerakan #SeAbadPram Peringati 100 Tahun Kelahiran Pramoedya Ananta Toer

Usman menyampaikan, Amnesty International adalah salah satu lembaga internasional yang aktif mengkampanyekan pembebasan Pram semasa pemenjaraannya di Pulau Buru. Salah satu kampanye yang dilakukan adalah dengan memasukkan Pram dalam daftar prisoner of conscience atau tahanan nurani dalam Newsletter Amnesty yang berjudul Prisoner of Conscience pada edisi 12-19 September 1972.  

“Newsletter tersebut memuat profil Pram sebagai tahanan nurani atau mereka yang dipenjara hanya karena bersuara secara damai,” ungkap dia. 

Dokumen tersebut berisi penjelasan mendalam terkait kasus yang dialami oleh Pram bersama bersama dengan prisoner of conscience lainnya dari Afrika Selatan, Spanyol, Taiwan, Kuba, Tanzania, Ceko, Paraguai Namibia, Turkiye dan Hungaria.  

Pada tahun 1972, Amnesty mengirimkan surat kepada anggota gerakandi seluruh dunia. Kemudian, memasukkan kasus Pram sebagai kampanye utama organisasi tersebut. 

Amnesty International mengupayakan pembebasannya dengan meminta ratusan ribu anggotanya di berbagai belahan dunia untuk mendasak pemerintah Indonesia membebaskan Pram. Pram akhirnya bebas pada tahun 1979. 

Pram bahkan sempat akan dibunuh di luar hukum oleh negara selama menjalani masa tahanan di Pulau Buru. Pada saat Pram akan dibunuh, seorang tahanan politik lainnya memberitahu keluarga Pram untuk menyampaikan kabar tersebut kepada Amnesty International. 

"Pram pada akhirnya selamat dari upaya pembunuhan di luar hukum tersebut," sebut dia

Tak hanya dipenjara. Selama di Pulau Buru Pram juga dilarang menulis, setidaknya hingga 1973. Akses kepada pensil, pulpen dan kertas dihilangkan. 

Amnesty International sempat mengirimkan mesin ketik ke Pulau Buru untuk Pram agar ia bisa kembali menulis. Sebab, mesin ketik pertama yang diberikan oleh seorang filosof Perancis yaitu Jean-Paul Sartre kepada Pram rusak. 

"Oleh karena itu Amnesty International mengirimkan mesin ketik kepada Pram yang waktu itu dibawa ke Pulau Buru melalui seorang petugas Palang Merah Internasional atau ICRC,” ujar dia.

Lewat peringatan seabad lahirnya Pramoedya, negara harus membebaskan semua tahanan yang dipenjarakan hanya karena ekspresi damainya termasuk mereka yang telah dijerat UU Pidana terjerat UU ITE, UU Penodaan Agama, UU Makar, maupun UU Pornografi. 

Menurut data Amnesty International Indonesia, terdapat 128 tahanan nurani (PoC) dari 82 kasus di Indonesia. Jumlah tersebut data dari Agustus 2019 hingga April 2024.

“Hanya dengan membebaskan semua tahanan nurani, negara baru bisa dikatakan telah belajar dari masa lalu nya yang kelam. Kami akan terus menyuarakan pembebasan para tahanan nurani seperti yang pernah kami lakukan untuk Pram,” kata Usman. 

Usman menguti pernyataan Pram. Yakni, generasi muda juga harus adil sejak dalam pikiran dan harus terus menulis agar tidak hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. 

"Adil dalam pikiran dan aktif menulis untuk menegakkan hak asasi manusia di Indonesia,” tutup Usman.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Anggi Tondi)