Tahun Ini Baru 2 Bulan, Hippindo Akui Ada Penurunan Daya Beli Masyarakat

Ilustrasi. Foto: MI/Adam Dwi.

Tahun Ini Baru 2 Bulan, Hippindo Akui Ada Penurunan Daya Beli Masyarakat

M Ilham Ramadhan Avisena • 14 March 2025 21:30

Jakarta: Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan (Hippindo) mengungkapkan terjadi penurunan daya beli masyarakat pada Januari dan Februari 2025. Itu terekam dalam data internal yang dimiliki oleh asosiasi.

Hanya, penurunan daya beli itu belum dapat diterjemahkan sebagai ketidakmampuan masyarakat untuk melakukan belanja, atau sekadar menahan untuk mengeluarkan uang. Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan, grafik penurunan itu diharapkan hanya terjadi pada dua bulan pertama di tahun ini.

“Saya sudah cek, Januari-Februari memang ada penurunan, dikarenakan baru Nataru, tapi di bulan tiga ini sudah mulai naik. Jadi sebenarnya daya beli itu, pada saat bulan tiga ini ada event besar, lebaran, lalu turun THR, kemungkinan sudah ada pembelian,” ujarnya saat ditemui seusai acara peluncuran program BINA Lebaran 2025, Jakarta, Jumat, 14 Maret 2025.

Hippindo, kata Budi, mengkhawatirkan penurunan daya beli itu disebabkan karena masyarakat memilih menahan konsumsi, atau menyimpan uangnya, alih-alih digunakan untuk berbelanja. Terlebih masyarakat boleh dibilang telah menggunakan uangnya untuk berbelanja pada masa Nataru 2024/2025.
 

Baca juga: 

Incar Transaksi Rp36,3 Triliun, Pemerintah Sebar Diskon Selama Lebaran 2025



(Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com)

Sementara sekarang ada momen Ramadan dan Lebaran yang secara historis juga merupakan puncak daya beli masyarakat. Waktu yang berdekatan itu besar kemungkinan membuat masyarakat menahan konsumsinya.

“Yang kita khawatirkan adalah orang itu menahan beli, karena pikirannya baru belanja pada Desember, masak belanja lagi di Februari. Tahun depan lebih dekat lagi (Natal ke Lebaran), Ini yang kami khawatirkan. Makanya kita diinisiasi bikin event liburan supaya memacu orang belanja lagi,” kata Budi.

Regulasi pemerintah tahan daya beli

Dia juga mengaitkan pelemahan daya beli dengan banyaknya regulasi dari pemerintah yang menghambat jalannya usaha. Di sektor ritel, misalnya, terlalu banyak aturan dan iklim yang belum kondusif seutuhnya. Padahal jika itu dibenahi dan diperbaiki oleh pemerintah, akan tercipta lapangan kerja yang bermuara pada peningkatan pendapatan masyarakat.

“Itu yang harus dilakukan pemerintah, memudahkan dunia usaha. Ritel itu banyak mau buka toko, dari dalam dan luar negeri. Masalahnya, sekarang biaya mahal. Ini sudah dikeluhkan, memangnya hanya industri baja saja yang di-premanisme? Industri ritel juga sama, sebelum buka toko saja sudah ada,” ungkap Budi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)