Peningkatan kesempatan kerja, dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan menjadi fondasi bagi pembangunan yang inklusif di Indonesia. Foto: Medcom.
Jakarta: Pendekatan multipihak penting dalam memperkuat kebijakan inklusif yang berlandaskan prinsip Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI). Kesetaraan akses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, peningkatan kesempatan kerja, dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan menjadi fondasi bagi pembangunan berkelanjutan yang inklusif di Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Salah satu upaya strategis adalah penguatan isu GEDSI) dalam berbagai sektor pembangunan.
Langkah ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan ke-5 tentang kesetaraan gender dan tujuan ke-10 tentang pengurangan ketimpangan. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh kelompok marjinal dalam memperoleh hak dan kesempatan yang setara.
Team Leader Inklusi Kate Shanahan menekankan bahwa penguatan isu GEDSI bukan hanya tentang memenuhi target statistik, tetapi juga tentang menciptakan perubahan kebijakan yang berkelanjutan.
"Kami optimistis akan terjadi perubahan sosial yang memastikan setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan menikmati hasil pembangunan," ujarnya dikutip Media Indonesia, Sabtu, 22 Maret 2025.
Kate Shanahan juga menekankan kolaborasi multipihak, termasuk dengan organisasi masyarakat sipil, merupakan kunci bagi Inklusi dalam mendukung pemerintah mencapai target-target tersebut secara lebih efektif dan berkelanjutan.
"Kami bermitra dengan 11 organisasi masyarakat sipil di 32 provinsi untuk memperkuat kapasitas lokal dalam mengintegrasikan perspektif GEDSI, sehingga dapat mendorong kebijakan dan program yang responsif terhadap kebutuhan semua kelompok masyarakat. Agar tidak ada yang tertinggal dalam pembangunan," tambahnya.
Pemerintah sendiri memang telah mengintegrasikan perspektif GEDSI dalam kebijakan dan program perlindungan sosial serta penanggulangan kemiskinan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kelompok rentan, termasuk perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal lainnya, mendapatkan akses yang setara terhadap layanan dan kesempatan pembangunan. Namun, harapan ke depan, implementasinya dapat lebih merata dan berkelanjutan.
Tantangan implementasi kebijakan
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah menggarisbawahi bahwa meskipun kebijakan nasional telah mengakomodasi isu GEDSI, tantangan tetap masih ada pada tingkat implementasi di lapangan.
"Kami menemukan masih ada kesenjangan antara kebijakan dan praktik di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk memastikan bahwa kebijakan yang inklusif dapat diimplementasikan secara maksimal," jelasnya.
Direktur Eksekutif SIGAB Indonesia Joni Yulianto menegaskan bahwa penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses kesempatan yang setara, baik dalam pendidikan, pekerjaan, maupun partisipasi dalam pengambilan keputusan.
"Kesetaraan akses bagi penyandang disabilitas bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga implementasi yang efektif dan merata. Banyak penyandang disabilitas masih menghadapi hambatan struktural, sosial, dan ekonomi yang menghalangi mereka untuk berkontribusi secara penuh dalam masyarakat,” tegas dia.
Keberlanjutan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan hanya dapat terwujud melalui kerja sama yang erat antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, mitra pembangunan, dan seluruh elemen masyarakat. Dengan semangat kolaborasi, setiap pihak memiliki peran penting dalam memastikan bahwa kebijakan dan program yang dihasilkan benar-benar responsif terhadap kebutuhan semua kelompok, terutama mereka yang selama ini menghadapi hambatan dalam mengakses hak dan kesempatan yang setara.