Gelombang protes di Georgia akibat keputusan pemerintah menghentikan proses aksesi Uni Eropa (UE) terus berlanjut. Foto: OC Media
Fajar Nugraha • 4 December 2024 14:13
Tbilisi: Gelombang protes di Georgia akibat keputusan pemerintah menghentikan proses aksesi Uni Eropa (UE) terus berlanjut hingga malam keenam pada Selasa 3 Desember 2024. Kekerasan semakin memuncak, seorang demonstran dilaporkan dalam kondisi kritis, sementara kritik internasional terhadap tindakan represif pemerintah terus meningkat.
Jalan Rustaveli menjadi pusat bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian. Polisi anti-huru-hara menggunakan gas air mata, meriam air, dan melakukan penangkapan terhadap para demonstran. Beberapa video menunjukkan petugas memukuli demonstran yang sudah ditahan.
Aleksi Tirkia, seorang demonstran berusia 22 tahun, mengalami luka parah akibat terkena tabung gas air mata di kepala. Menurut laporan On.ge, ia menjalani operasi darurat untuk mengatasi luka terbuka di kulit kepala dan saat ini dalam kondisi koma yang diinduksi secara medis. Dokter yang merawatnya menyebutkan bahwa kondisinya masih kritis.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Türk, mengecam tindakan keras aparat terhadap demonstran.
“Penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan terhadap demonstran dan pekerja media sangat mengkhawatirkan,” ujar Türk, seperti dilansir dari OC Media, Rabu 4 Desember 2024.
Ia juga menyoroti ketidakhadiran tanda pengenal pada petugas bertopeng yang menangani protes. Mantan Perdana Menteri Giorgi Gakharia menyatakan bahwa pemerintah mungkin menggunakan kelompok informal untuk melakukan kekerasan terhadap para demonstran.
“Tampaknya individu bertopeng ini diberikan impunitas, memungkinkan mereka untuk melakukan kekerasan dan penjarahan, hingga mengambil barang-barang pribadi seperti ponsel dan tas dari korban yang terluka,” kata Gakharia.
Media Freedom Rapid Response (MFRR) melaporkan bahwa setidaknya 50 jurnalis menjadi korban kekerasan fisik, pelecehan verbal, atau penghalangan selama meliput aksi.
“Penindasan brutal terhadap media di Georgia bukanlah insiden terisolasi, melainkan bagian dari pola kekerasan sistematis dan impunitas terhadap kejahatan terhadap jurnalis,” kata MFRR dalam pernyataannya.
Mereka menyerukan komunitas internasional untuk menekan pemerintah Georgia agar menghentikan tindakan represif terhadap media.
Di tengah memanasnya situasi, lebih dari 150 pegawai Dinas Pendapatan Georgia menandatangani pernyataan bersama yang menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap keputusan pemerintah untuk menghentikan proses aksesi Uni Eropa.
“Kami tetap setia pada Konstitusi Georgia dan jalur integrasi ke Uni Eropa,” tulis mereka.
Namun, Perdana Menteri Irakli Kobakhidze merespons dengan ancaman tindakan tegas terhadap para pegawai yang mendukung protes.
“Kami mengamati semua tindakan mereka dan akan merespons sesuai dengan Konstitusi dan hukum. Akan ada tanggapan,” ujar Kobakhidze.
Kobakhidze juga menuduh LSM tertentu mendanai protes dan memperingatkan bahwa mereka juga akan dimintai pertanggungjawaban.
Protes meluas hingga ke sektor pendidikan, dengan siswa di berbagai kota seperti Kutaisi, Batumi, dan Rustavi melakukan aksi walkout. Rekaman yang ditayangkan oleh saluran TV lokal menunjukkan seorang staf sekolah di Batumi menyerang siswa yang mencoba melakukan protes.
Presiden Salome Zourabichvili mengecam langkah Kementerian Pendidikan yang meminta masyarakat melaporkan gangguan dalam proses belajar.
“Kementerian Pendidikan mengeluarkan saluran untuk pengaduan terkait gangguan proses belajar. Apakah Uni Soviet kembali?” sindir Zourabichvili.
Kritik terhadap pemerintah juga datang dari negara-negara Baltik. Estonia, Latvia, dan Lituania menjatuhkan sanksi kepada 11 pejabat Georgia, termasuk Bidzina Ivanishvili, pendiri partai Georgian Dream, atas pelanggaran hak asasi manusia.
Namun, pemerintah Georgia menolak langkah ini, menyebutnya sebagai campur tangan dalam urusan dalam negeri.
Demonstrasi yang dimulai pada 28 November ini mencerminkan ketidakpuasan mendalam rakyat Georgia terhadap pemerintah yang dianggap menghambat integrasi dengan Uni Eropa. Tindakan represif aparat dan meningkatnya tekanan internasional menempatkan negara ini di persimpangan jalan politik yang menentukan. (Muhammad Reyhansyah)