Ilustrasi pipa gas. Foto: Dok Kementerian ESDM
Media Indonesia • 9 July 2024 16:45
Jakarta: Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpandangan keputusan pemerintah untuk melanjutkan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar USD6 per million british thermal unit (mmbtu) dapat terus menggerus penerimaan negara.
Pemerintah harus menanggung selisih antara HGBT sebesar USD6 per mmbtu dengan harga pasar untuk memasok gas murah kepada industri. Adapun tujuh sektor penerima HGBT ialah pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet
Pri Agung mencatat adanya penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor hulu migas akibat HGBT mencapai Rp29,3 triliun di 2020-2022 dan di 2023 perkiraan penerimaan negara di hulu migas berkurang sebesar Rp15,6 triliun.
"Kalau pemerintah tetap melanjutkan HGBT, berarti pemerintah sudah lebih siap dengan penerimaan negara yang hilang dari selisih harga gas yang ada," ujar Pri Agung kepada Media Indonesia, Selasa, 9 Juli 2024.
Pri Agung menyebut potensi kehilangan penerimaan negara akan semakin besar ke depan tergantung dari harga minyak atau gas dunia. Selain itu, dia juga mengatakan dengan adanya masalah tersebut dapat menimbulkan sentimen negatif terhadap iklim investasi di sektor hulu dan hilir migas secara umum.
Dia pun mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan insentif fiskal secara langsung kepada industri ketimbang pemberian HGBT.
"Dengan usulan ini diyakini tidak menurunkan penerimaan negara dari hulu migas. Iklim investasi untuk industri midstream dan upstream migas juga bisa lebih sehat," jelasnya.
Baca juga: Pemerintah Lanjutkan Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu untuk 7 Sektor |