Peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika di IPDN. Foto: Bandung Spirit 
                                                
                    
                        Bandung: 70 tahun setelah Konferensi Asia–Afrika bersejarah tahun 1955, Semangat Bandung terus menerangi dialog global tentang keadilan, perdamaian, dan kerja sama.
Apa yang bermula sebagai deklarasi kemerdekaan dan solidaritas bangsa-bangsa tertindas kini telah berevolusi menjadi kompas moral hidup bagi abad ke-21, sebuah seruan untuk membangun kembali dunia yang lebih adil, aman, dan sadar.
Ketika UNESCO menetapkan arsip Konferensi Bandung (1955), Pidato Soekarno di PBB (1960), dan KTT Gerakan Non-Blok di Beograd (1961) ke dalam Memory of the World, ketiga tonggak ini bukan lagi sekadar sejarah melainkan mandat untuk masa depan.
Hakikat Bandung: Prinsip, Semangat, dan Mimpi
Sepuluh Prinsip Bandung (Dasasila Bandung) tetap menjadi landasan etika bagi hidup berdampingan secara damai: saling menghormati, kesetaraan, tidak saling mencampuri urusan dalam negeri, dan kerja sama.
Sementara itu, Semangat Bandung mencerminkan lima cita-cita luhur yaitu, Perdamaian, Kemerdekaan, Kesetaraan, Solidaritas, dan Emansipasi.
Dari nilai-nilai inilah lahir Mimpi Bandung — sebuah visi tentang 
Kemakmuran Global Berkelanjutan yang berakar pada Perdamaian, Keadilan, Kerja Sama, Solidaritas, dan Keberagaman.
Landasan moral ini membentuk 
Konstelasi Bandung yakni kumpulan negara-negara dan lembaga-lembaga yang mengacu kepada Semangat Bandung, seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Uni Afrika (AU), UNCTAD, G77, ASEAN, FOCAC, TICAD, SCO, hingga BRICS+, yang bersama-sama meneruskan warisan Bandung ke dalam tatanan dunia multipolar yang tengah berkembang.
Tantangan dan Peluang Baru di Dunia yang Terfragmentasi
Dunia kembali berada di persimpangan kritis, 70 tahun setelah Bandung.
Perang, krisis iklim, hegemoni digital, dan ketimpangan ekonomi kini menguji idealisme para pendiri Bandung. Bangsa-bangsa dalam “Konstelasi Bandung” -,para pewaris moral tahun 1955,- kini menghadapi lima instrumen dominasi modern:
1. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
2. Penguasaan informasi dan media
3. Penguasaan sistem keuangan global
4. Penguasaan teknologi militer dan senjata pemusnah massal
5. Penguasaan sumber daya alam
Namun di balik tantangan tersebut, tersimpan peluang besar: Kebangkitan Asia.
Kebangkitan Asia: Dari Pinggiran Menjadi Pusat Kekuatan
Pada tahun 1970, Asia adalah benua termiskin di dunia. Namun pada 2016, kontribusinya terhadap PDB global meningkat dari kurang dari 10% menjadi 30%, dan pendapatan per kapitanya mulai mendekati rata-rata dunia.
Menurut proyeksi PwC, pada tahun 2050 tujuh dari sepuluh ekonomi terbesar dunia akan berasal dari negara-negara yang berhaluan Semangat Bandung — Tiongkok, India, Indonesia, Jepang, Brasil, Rusia, dan Meksiko.
Kebangkitan Asia bukan hanya ekonomi, tetapi juga ilmiah, teknologi, dan geopolitik. Negara-negara Asia telah maju dalam bidang AI, energi terbarukan, antariksa, dan inovasi pertahanan.
Ekonomi BRICS kini secara kolektif melampaui G7, menandai berakhirnya dominasi unipolar dan lahirnya tatanan dunia polycentric (berpusat majemuk).
Bandung ke-70: Konferensi dan Peringatan
Untuk merefleksikan transformasi ini, Konferensi Peringatan 70 Tahun Konferensi Asia–Afrika (Bandung 1955) akan diselenggarakan dengan tema: 
“Bandung 70: Tantangan dan Peluang untuk Membangun Dunia Kembali.” Adapun rangkaian peringatan akan dilakukan di:
Bandung/Jatinangor (28–29 Oktober 2025) — diselenggarakan oleh Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Surabaya (30–31 Oktober 2025) — diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga. Blitar (1 November 2025) — Ziarah ke Makam Bung Karno dan Seminar “Warisan Global Soekarno” dan Yogyakarta (2–5 November 2025) — Festival Keberagaman Budaya, diselenggarakan bersama Institut Seni Indonesia Yogyakarta, merayakan keberagaman budaya bersemangat Bandung.
Peserta dan Jangkauan Global
Konferensi ini akan menghadirkan lebih dari 50 cendekiawan dan pembuat kebijakan dari 32 negara di Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika — merepresentasikan Konstelasi Bandung yang diperbarui. Mereka akan mendiskusikan apakah Kebangkitan Asia merupakan replikasi ekspansionisme Barat, atau kebangkitan kembali peradaban etis dan kooperatif sebuah peluang baru untuk “membangun dunia yang baru,” sebagaimana diimpikan Soekarno di PBB tahun 1960.
Pada sesi di IPDN, Sidang pleno yang dipimpin oleh Prof. Darwis Khudori (Université Le Havre Normandie, Prancis) dan diketuai bersama oleh Prof. Nurliah Nurdin (IPDN, Indonesia) dan Dr. Baskara Wardaya (PRAKSIS, Indonesia) ini menghadirkan para pemikir berpengaruh seperti Manoranjan Mohanty (India), Connie Rahakundini Bakrie (Indonesia/Rusia), Qing Shi (Tiongkok), Fulufhelo Netswera (Afrika Selatan), Beatriz Bissio (Brasil/Uruguay), Olga Volosyuk (Rusia), dan Bruno Drweski (Polandia/Prancis).
“Visi Soekarno tentang Gerakan Non-Blok tetap kuat, sebuah semangat perubahan peradaban yang mendorong kita untuk membangun kesadaran kolektif di mana BRICS menjadi kekuatan dan ASEAN menjadi pemikiran,” ucap Prof. Connie Rahakundini Bakrie menekankan bahwa warisan Bandung tetap vital dalam membentuk kembali tatanan dunia.
Senada dengan itu, Prof. Mohanty dari India mendesak hubungan internasional yang berpusat pada rakyat, dengan menyatakan bahwa dunia harus “memperkuat PBB sebagai lembaga global yang demokratis dan mendukung BRICS serta inisiatif Selatan-Selatan.”
Dari perspektif Eurasia, Prof. Olga Volosyuk menarik garis sejarah langsung dari Konferensi Bandung ke aliansi BRICS, dengan mencatat bahwa moto kelompok tersebut, “Membangun Dunia yang Lebih Baik Bersama”, menggemakan impian Sukarno tentang keadilan dan kesetaraan antarbangsa.
Cendekiawan Amerika Latin Beatriz Bissio menggarisbawahi relevansi pesan anti-imperialis Bandung yang berkelanjutan, menyayangkan dampak Doktrin Monroe yang masih berlanjut di wilayahnya sambil mengadvokasi “bentuk internasionalisme baru yang berbasis pada rakyat, bukan negara.”
Mewakili Afrika, Prof. Fulufhelo Netswera menekankan urgensi untuk mengubah kata-kata menjadi tindakan: “Kita, masyarakat di belahan bumi selatan, harus memastikan hari esok adalah dunia yang lebih baik daripada yang kita warisi dari para pendahulu kita di Bandung 1955.” Sementara itu, cendekiawan Tiongkok Qing Shi menyerukan "front persatuan untuk kerja sama Selatan-Selatan" dan mendesak dunia untuk "keluar dari kerangka pengetahuan kolonial dan membangun kembali."
Sementara Prof. Khudori menegaskan kembali bahwa Semangat Bandung bukan sekadar kenangan sejarah, melainkan filosofi hidup untuk keadilan global. Konferensi ditutup dengan peluncuran buku simbolis, "Membangun Kembali Dunia dalam Perspektif Global," yang memperkuat komitmen IPDN untuk memupuk kolaborasi intelektual dan inovasi kebijakan di seluruh belahan bumi selatan.