Pidato Berapi-api di PBB, Diplomasi Presiden Prabowo di Panggung Dunia

Presiden Prabowo Subianto dalam pidato Sidang Majelis Umum PBB. Foto UN

Pidato Berapi-api di PBB, Diplomasi Presiden Prabowo di Panggung Dunia

24 September 2025 12:13

Pidato Presiden Prabowo Subianto di dua forum besar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Solusi Dua Negara Palestina–Israel dan Sidang Umum PBB ke-80, menjadi momentum penting bagi diplomasi Indonesia. Dua forum itu bukan sekadar agenda rutin diplomatik, melainkan panggung global tempat setiap kata dan ekspresi seorang kepala negara memiliki bobot politik, moral, dan simbolik.

Indonesia, dengan sejarah panjang kolonialisme, populasi besar 280 juta jiwa, serta posisi strategis di Asia, memiliki peluang untuk memainkan peran lebih dari sekadar “negara peserta.” Dalam dua pidatonya, Presiden Prabowo menegaskan peran itu mulai dari suara moral bagi Palestina, hingga penyedia solusi praktis untuk tantangan global seperti pangan, energi, dan perubahan iklim.

Presiden Prabowo sedang membangun wacana politik di panggung dunia. Wacana bukan hanya verbal, melainkan juga non verbal. Untuk beberapa wacana politik Presiden Prabowo menarik untuk dianalisis. Setidaknya ada lima hal dari wacana besar Presiden Prabowo yang menarik untuk dianalisis: 

Pertama, pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80. Dengan tema “Seruan Indonesia untuk Harapan”, Prabowo menyinggung banyak isu mulai dari kesetaraan manusia, penderitaan Palestina, tawaran mengirim 20.000 pasukan perdamaian, hingga capaian swasembada beras dan komitmen transisi energi menuju net-zero. 

Kedua, pidato Prabowo di KTT PBB soal Solusi Dua Negara. Di forum ini, Prabowo fokus pada Gaza, mengutuk kekerasan terhadap warga sipil, serta menegaskan dukungan penuh Indonesia untuk pengakuan Palestina. Bahkan Prabowo menyampaikan pesan yang cukup tegas: “Jika Israel mengakui Palestina, maka Indonesia siap mengakui Israel.” 

Ketiga, gaya komunikasi non-verbal Prabowo. Dalam dua pidato tersebut, terlihat tiga hal utama yaitu ekspresi wajah serius dan sesekali menunduk ketika menyebut penderitaan Gaza (menunjukkan empati), intonasi suara meninggi yang disertai hentakan gerakan tangannya, ketika menegaskan kesiapan mengirim pasukan perdamaian (menunjukkan ketegasan), dan nada lembut namun reflektif saat menutup pidato dengan kalimat “apakah ini mimpi? Mungkin. Tetapi inilah mimpi indah…”

Keempat, substansi moral pidato. Prabowo secara konsisten membingkai Indonesia sebagai bangsa yang tahu pahitnya dijajah, sehingga punya legitimasi moral untuk bersuara bagi Palestina dan bangsa lain yang tertindas.

Kelima, pesan praktis pidato. Tidak berhenti pada moralitas, Prabowo menegaskan kontribusi konkret Indonesia yaitu pangan, energi hijau, reforestasi, serta kesiapan pasukan perdamaian. Keenam, narasi identitas bangsa. Prabowo membangun gambaran bahwa Indonesia tidak lagi hanya “korban kolonialisme”, melainkan kini aktor global yang mampu memberi solusi.


Gaya komunikasi Presiden Prabowo menarik perhatian audien di PBB. Berkali-kali Prabowo mendapat sambutan tepuk tangan, berbeda dengan gaya komunikasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat berpidato di panggung yang sama, sepi tepuk tangan. Prabowo menggabungkan gaya komunikasi direktif, inspiratif, persuasif, dan dinamis. Direktif sesuai latar belakang Prabowo dari militer. Inspiratif/naratif untuk membangun nasionalisme. Persuasif untuk merangkul lawan politik dan dunia internasional, dalam hal ini mempengaruhi semua pihak menghentikan genosida di Gaza. Ia juga  dinamis, karena mampu menyesuaikan gaya bicara antara forum domestik dan forum global.



Discourse-Historical Approach (DHA) dari Ruth Wodak menekankan pentingnya menghubungkan teks dengan konteks historis, sosial, dan politik. Dalam pidato Prabowo, terlihat jelas lima strategi diskursif utama: Pertama, Strategi Referensial (Nomination/Referencing). Presiden Prabowo merujuk pada sejarah kolonialisme Indonesia untuk menegaskan kredibilitas moral. “Kami orang Indonesia tahu bagaimana hidup dalam apartheid,” ujarnya, menghubungkan pengalaman historis bangsa dengan penderitaan Palestina.

Kedua, Strategi Predikasi (Predication). Dalam pidato Presiden Prabowo, Indonesia diposisikan sebagai bangsa yang siap memikul beban, baik dengan pasukan perdamaian maupun kontribusi pangan dan energi. Palestina digambarkan sebagai korban ketidakadilan global, sementara PBB diproyeksikan sebagai lembaga yang perlu lebih adil.

Ketiga, Strategi Argumentatif. Pidato Presiden Prabowo menolak doktrin Thucydides “yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang harus mereka tanggung.” Argumen ini memperkuat seruan solidaritas global. Tema keadilan, solidaritas, dan kebutuhan global dipakai untuk membenarkan posisi Indonesia.

Keempat, Strategi Perspektivisasi (Framing). Narasi yang dibangun Presiden Prabowo dari sudut pandang Global South, bahwa negara-negara berkembang bukan sekadar objek kebijakan global, melainkan subjek yang berhak bersuara.

Kelima. Strategi Intensifikasi. Melalui diksi emosional “tragedi kemanusiaan di Gaza” dan intonasi yang ditegaskan, Presiden Prabowo memperkuat kesan urgensi dan tanggung jawab moral dunia. Dengan analisis ini, terlihat bahwa pidato Presiden Prabowo bukan sekadar retorika diplomatik, melainkan upaya membangun identitas, moralitas, dan klaim kepemimpinan Indonesia.

Pidato Prabowo juga bisa dibaca sebagai strategi komunikasi diplomasi dua lapis yaitu lapisan moralitas dan lapisan praktis. Pada lapis moralitas, Presiden Prabowo mengangkat isu Palestina, penderitaan Gaza, dan sejarah kolonialisme Indonesia. Bahasa emosional dan simbolik dipakai untuk membangun solidaritas global. Sedangkan pada lapisan praktis, Presiden Prabowo menawarkan solusi nyata yaitu pasukan perdamaian, pangan, energi hijau, dan komitmen transisi iklim. Bahasa teknis dan rasional dipakai untuk memberi kredibilitas. Kombinasi dua lapisan ini membuat pesan diplomasi Indonesia lebih kuat, lapisan moralitas memberi legitimasi, lapisan praktis memberi kepercayaan.

Pidato Presiden Prabowo di PBB menjadi pengingat juga untuk perbaikan di dalam negeri. Indonesia harus menindaklanjuti janji dengan aksi nyata. Tawaran mengirim 20.000 pasukan perdamaian perlu dikaji secara realistis bersama PBB. Jika tidak ditindaklanjuti, dunia akan menilai itu sekadar retorika. Komitmen pangan dan energi perlu konsisten. Dunia akan menilai apakah capaian swasembada beras dan transisi energi benar-benar berlanjut, atau hanya “kartu nama diplomasi.” 
Indonesia harus memperkuat jejaring Global South. Dengan memposisikan diri sebagai pemimpin kawasan, Indonesia bisa memperkuat peran Global International Relation yang plural, inklusif, dan tidak lagi didominasi Barat.  Diplomasi komunikasi perlu terus menjaga keseimbangan moral dan praktis. Tanpa moralitas, pesan akan kehilangan legitimasi; tanpa kontribusi praktis, pesan akan kehilangan kredibilitas.

Pidato Prabowo di dua forum PBB membingkai identitas Indonesia dari bangsa tertindas menjadi bangsa pemberi solusi mendukung penuh kemerdekaan Palestina dengan two state solution. Pertanyaan krusialnya adalah konsistensi. Apakah janji di panggung dunia akan diwujudkan dalam kebijakan nyata di dalam negeri? Jika iya, maka Indonesia akan melangkah lebih jauh dari voice of the voiceless menjadi pemimpin Global South yang kredibel dan disegani. Dunia sudah memberi panggung. Tugas berikutnya memastikan bahwa mimpi indah yang diucapkan di PBB benar-benar menjadi kenyataan.

Opini ini ditulis oleh Jurnalis Senior Metro TV & Doktor Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Komunikasi Politik), Kennorton Hutasoit.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)