Pengungsi Rohingya di Bangladesh. Foto: EFE
Muhammad Reyhansyah • 26 August 2025 12:13
Cox’s Bazar: Bangladesh tidak lagi memiliki kapasitas untuk menyediakan sumber daya tambahan bagi 1,3 juta pengungsi Rohingya yang tinggal di wilayahnya, kata Penasihat Utama Muhammad Yunus pada Senin, 25 Agustus 2025. Ia menegaskan, dunia internasional harus segera mencari solusi berkelanjutan bagi krisis tersebut.
Anak-anak mencakup setengah dari populasi pengungsi Rohingya di Bangladesh. Sebagian besar melarikan diri pada 2017 setelah operasi militer Myanmar yang oleh penyelidik PBB disebut sebagai “contoh klasik pembersihan etnis”.
“Dengan tantangan yang begitu banyak, kami tidak melihat ada ruang lagi untuk mengerahkan sumber daya domestik,” ujar Yunus, seraya menekankan perlunya peta jalan nyata bagi pemulangan Rohingya.
Mengutip dari Channel News Asia, Selasa, 26 Agustus 2025, pernyataan Yunus disampaikan bertepatan dengan delapan tahun sejak eksodus besar-besaran Rohingya. Lebih dari 700.000 orang tiba hanya dalam hitungan hari, menjadikan Cox’s Bazar di tenggara Bangladesh sebagai kamp pengungsian terbesar di dunia.
Ratusan ribu pengungsi menggelar aksi di kamp pada Senin, membawa poster bertuliskan: “Tidak ada lagi hidup sebagai pengungsi,” “Hentikan Genosida,” dan “Repatriasi adalah solusi akhir.”
Namun di Bangladesh, mereka tetap hidup dalam shelter bambu sempit, dengan bantuan internasional yang terus berkurang, sekolah ditutup, dan tanpa kepastian masa depan.
“Selama tujuh tahun, kami hanya mendengar konferensi, dialog, dan pernyataan pers, tapi kehidupan kami tak berubah,” kata Sayed Ullah, salah satu pemimpin komunitas Rohingya yang hadir dalam konferensi bersama Yunus.
Hafizur Rahman, seorang pengungsi, menambahkan: “Dulu dunia mendukung kami, tapi kini seolah meninggalkan kami. Jika dunia melupakan kami, masa depan apa yang tersisa bagi anak-anak kami?”
Dalam setahun terakhir, sekitar 150.000 orang tambahan menyeberang ke Bangladesh akibat meningkatnya bentrokan antara militer Myanmar dan Arakan Army, kelompok etnis bersenjata dari mayoritas Buddha.
Militer Myanmar mengklaim operasi mereka adalah kampanye kontra-terorisme, bukan pembersihan etnis. Upaya pemulangan pada 2018 dan 2019 gagal karena pengungsi menolak pulang, khawatir akan dianiaya.
Yunus menegaskan, dunia harus terus menaruh isu Rohingya dalam agenda global. “Mereka membutuhkan dukungan kita sampai bisa kembali ke rumah dengan aman,” pungkas Yunus.