Ilustrasi pekerja di industri baja. Foto: dok MI/Uman Iskandar.
Ade Hapsari Lestarini • 20 April 2025 21:24
Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat kapasitas produksi baja nasional saat ini mencapai sekitar 17 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan domestik diperkirakan mencapai 21 juta ton pada 2025.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketergantungan pada impor untuk memenuhi kebutuhan baja dalam negeri.
Jika seluruh agenda pembangunan industri, infrastruktur, dan manufaktur berjalan sesuai rencana, proyeksi kebutuhan baja Indonesia pada 2045 bahkan diperkirakan mencapai 100 juta ton per tahun. Gap antara kebutuhan dan pasokan dari produksi dalam negeri bisa jadi makin besar.
Indonesia menghadapi tantangan dalam industri baja. Banjir impor baja murah, terutama dari Tiongkok, menekan produsen dalam negeri. Kebijakan tarif tinggi untuk impor baja di Amerika Serikat menyebabkan produsen baja dari Tiongkok mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia.
Industri baja belum mandiri
Ini menjadikan industri baja nasional belum sepenuhnya mandiri dan tetap rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan global.
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Lay Monica, menyoroti industri baja nasional menghadapi kondisi sulit akibat banjir impor baja yang tidak sesuai standar nasional. Ia menekankan perlunya implementasi bijak dari kebijakan larangan dan pembatasan impor untuk melindungi industri dalam negeri.
Sementara Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, mengkhawatirkan industri baja Indonesia bisa bernasib seperti industri tekstil yang hancur akibat serbuan produk impor. Ia menekankan perlunya perlindungan pemerintah terhadap industri baja dalam negeri melalui instrumen seperti Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan safeguard.
Kemenperin mengakui adanya peningkatan produksi baja dari Tiongkok dan berharap oversupply tersebut tidak membebani industri baja domestik. Mereka menyatakan komitmen untuk melindungi industri dalam negeri agar tetap berdaya saing di pasar lokal maupun global.
"Ketika pasar domestik dibanjiri produk impor dan mengakibatkan tekanan yang berat pada demand domestik, hal tersebut juga akan mengancam ekonomi 19 juta pekerja dan keluarganya," kata Staf Khusus Menperin Bidang Hukum dan Pengawasan Febri Hendri Antoni Arief.