Ilustrasi. Foto: Medcom
Jakarta: Kasus pencurian dan perusakan peralatan monitoring gempa dan peringatan dini tsunami yang dikelola oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kembali terjadi. Insiden terbaru berlangsung di Desa Buae, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, pada 12 Februari 2025.
Pada kasus kali ini, pelaku mencuri enam unit aki dan dua panel surya yang digunakan sebagai sumber daya utama stasiun seismik BMKG di lokasi tersebut. Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan bahwa pencurian ini bukan yang pertama kali terjadi di tempat yang sama.
“Ini adalah kejadian keempat kalinya pencurian dan perusakan peralatan BMKG terjadi di lokasi yang sama,” ujar Daryono saat dikutip dari Media Indonesia, Sabtu, 15 Februari 2025.
Pelaku bahkan membongkar bangunan shelter dan mengambil seluruh baterai yang menjadi sumber daya utama stasiun monitoring gempa. Akibatnya, BMKG terpaksa mencabut seluruh peralatan yang tersisa, termasuk sensor, digitizer, dan peralatan komunikasi, guna mencegah kerugian lebih lanjut.
Pencurian dan perusakan terhadap peralatan BMKG bukanlah peristiwa baru. Dalam catatan BMKG sejak 2015, telah terjadi setidaknya 10 kasus serupa di berbagai daerah di Indonesia.
Peristiwa-peristiwa tersebut meliputi pencurian di Cisompet, Garut, Jawa Barat pada 2015 (dua kali); Muara Dua, Sumatera Selatan pada 2017; Manna, Bengkulu pada 2018; serta beberapa kejadian beruntun pada 2022, yakni di Indragiri Hilir (Riau), Kluet Utara (Aceh Selatan), Sorong (Papua Barat), Jambi, dan Sausapor (Tambrauw, Papua Barat). Pada 2024, pencurian terjadi di Pulau Banyak, Aceh Singkil, dan di 2025 kasus terbaru di Sidrap, Sulawesi Selatan, yang terjadi sebanyak empat kali.
Daryono menegaskan peralatan yang dicuri berada di wilayah yang sangat rawan gempa. “Wilayah ini berada di jalur patahan aktif Sesar Walanae, yang menurut Pusat Gempa Nasional (Pusgen, 2017) bukanlah sesar mikro, melainkan sesar regional yang dapat memicu gempa hingga magnitudo Mw7,1,” ungkap dia.
Berdasarkan data historis, kawasan ini pernah diguncang gempa berkekuatan Mw 6,0 pada 29 September 1997. Bencana tersebut menyebabkan 16 orang meninggal dunia dan ratusan rumah rusak.
Selain itu, wilayah ini memiliki risiko dampak ikutan gempa seperti longsor, runtuhan batu, dan likuifaksi.
Sulawesi Selatan juga memiliki sejarah tsunami. Daryono mengingatkan bahwa tsunami pernah terjadi di Teluk Mandar akibat gempa Mw 6,3 pada 11 April 1967, yang menewaskan 58 orang. Oleh karena itu, peralatan monitoring gempa sangat penting untuk mitigasi bencana.
“Pencurian ini sangat merugikan keselamatan masyarakat. Tanpa sensor yang berfungsi, sistem peringatan dini menjadi terganggu,” tegasnya.
BMKG mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan perusakan dan pencurian terhadap peralatan vital ini. Sebab, peralatan tersebut sangat penting melindungi masyarakat.
“Kami memohon dengan sangat kepada masyarakat, jika belum bisa aktif terlibat dalam mitigasi bencana, setidaknya jangan merusak alat yang bertujuan melindungi keselamatan banyak orang,” sebut dia.
Ia juga meminta pemerintah daerah turut berperan dalam menjaga keamanan peralatan BMKG yang telah dipasang di lokasi strategis. Sebab, butuh biaya besar untuk menggantinya.
“Peralatan ini menggunakan teknologi canggih dengan biaya yang sangat tinggi, sehingga tidak mudah untuk segera menggantinya,” ujar dia.
Daryono berharap semua pihak memahami pentingnya menjaga keberlangsungan sistem peringatan dini bencana. “Kami berharap pengertian dan perhatian dari semua pihak agar sistem peringatan dini tetap berjalan demi keselamatan masyarakat, khususnya di Sulawesi Selatan dan di seluruh Indonesia,” kata dia.