Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com
Jakarta: Di tengah maraknya penggunaan teknologi kecerdasan buatan generatif (Gen-AI), riset terbaru dari Luminate dan Ipsos menemukan masyarakat Indonesia cukup sadar akan potensi bahayanya, tapi banyak yang belum menyadari betapa rentannya mereka terhadap disinformasi yang dihasilkan oleh AI.
Dalam survei ini, 75 persen responden percaya konten buatan AI bisa mempengaruhi pandangan politik publik. Sebagian besar juga merasa konten tersebut bisa mempengaruhi orang-orang terdekat mereka (72 persen), dan bahkan diri mereka sendiri (63 persen).
Namun menariknya, dari 33 persen responden yang merasa pandangan politiknya tidak akan terpengaruh, 42 persen justru mengaku tidak yakin bisa membedakan mana konten asli dan mana yang dibuat AI.
“Kami melihat pola yang konsisten di berbagai negara; semakin banyak orang memahami AI, semakin besar kemungkinan mereka menyadari risikonya. Begitu pula dengan Indonesia,” ujar praktisi tata kelola data dari Luminate Dinita Putri dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 20 Mei 2025.
Putri menjelaskan, jika ingin membangun masyarakat yang tangguh terhadap disinformasi, maka perlu berinvestasi dalam meningkatkan kesadaran komunitas. Bukan hanya di kalangan digital native, tapi di seluruh lapisan masyarakat.
Survei ini juga menyoroti perbedaan cara pria dan wanita menilai kemampuan mereka sendiri. Walaupun secara umum keyakinannya hampir sama (70 persen pria dan 71 persen wanita mengaku cukup yakin), hanya 17 persen wanita yang merasa sangat yakin bisa mengenali konten AI dibandingkan dengan 30 persen pria.
(Ilustrasi AI. Foto: Freepik)
Indonesia salah satu negara paling aktif secara digital
Lebih dari 90 persen responden menggunakan WhatsApp setiap hari, dan penggunaan Instagram, Facebook, serta TikTok juga sangat tinggi. Dengan paparan sebesar itu, ditambah rendahnya literasi AI, risiko penyebaran disinformasi jadi semakin besar, terutama di negara dengan lebih dari 204 juta pemilih seperti Indonesia.
“ICT Watch turut menekankan pentingnya kesadaran komunitas. Literasi AI adalah fondasi penting untuk memastikan masyarakat dapat berinteraksi dengan teknologi secara etis, inklusif, dan bertanggung jawab,” kata Direktur Program ICT Watch Prasasti Dewi.
Melalui Kerangka Kerja Literasi AI Indonesia, Dewi menekankan nilai-nilai hak asasi manusia dan tiga dimensi inti kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI), kondisi sosial ekonomi, dan kesejahteraan.
“Penggunaan AI yang bermakna harus memberdayakan kelompok rentan, memperkuat partisipasi warga, dan mempromosikan keadilan digital di tengah perubahan teknologi yang begitu cepat,” ujarnya.
Fenomena ini juga terlihat di negara lain, bahkan yang sudah maju sekalipun. Di Prancis, Jerman, dan Inggris, lebih dari 70 persen responden yang paham AI dan teknologi
deepfake mengaku khawatir terhadap dampaknya bagi pemilu.
Riset serupa menunjukkan publik makin cemas dengan peran platform digital yang dianggap bisa melemahkan demokrasi, dan banyak yang menuntut kendali lebih besar atas data pribadi mereka.
Sementara itu di Amerika Latin, dukungan terhadap regulasi AI meningkat jadi 65 persen di kalangan yang paham betul teknologinya. Pemahaman soal AI terbukti membuat masyarakat lebih sadar akan risikonya, terutama soal integritas pemilu dan kesenjangan sosial.
“Riset dari berbagai negara menunjukkan satu hal penting: pemahaman soal AI sangat penting untuk melindungi demokrasi. Warga Indonesia yang sangat aktif di dunia maya perlu memiliki literasi AI yang memadai. Hal ini dapat dicapai dari kerja sama berbagai pihak; baik
pemerintah, platform hingga komunitas, pendidik, dan organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan pemahaman,” tutup Dinita.
Ipsos melakukan survei terhadap 1.000 responden berusia 21–65 tahun di Indonesia dengan metode online, pada 28 November hingga 6 Desember 2024. Survei menggunakan kuota berdasarkan usia, jenis kelamin, wilayah, dan status pekerjaan disesuaikan agar mewakili populasi nasional.