Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Yuliot Tanjung. Dok. Istimewa
Achmad Zulfikar Fazli • 8 July 2025 20:20
Jakarta: Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Wamen ESDM) Yuliot Tanjung menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi perlu segera dievaluasi. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas.
“Salah satu yang perlu dilakukan evaluasi adalah UU Nomor 22 Tahun 2001. Secara substansi sudah harus banyak dilakukan evaluasi, bagaimana memberikan kemudahan investasi di hulu migas,” ujar Yuliot saat memberikan sambutan di acara Sarasehan Nasional bertajuk Mendorong Keberlanjutan Industri Hulu Minyak dan Gas untuk Kemandirian Energi yang diselenggarakan Katadata, Selasa, 8 Juli 2025.
Yuliot mengungkapkan investor hulu migas menginginkan adanya simplifikasi kegiatan di sektor hulu migas. Contohnya, dalam sebuah tender blok migas mesti diikuti tiga peserta lelang. Padahal, jumlah investor tidak banyak. Oleh karena itu, diperlukan penyederhanaan proses investasi.
“Yang bergerak pemainnya itu-itu saja di hulu migas. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana kita berpikir kalau ada yang berminat (investasi), modalnya cukup, punya teknologi, dan sudah melakukan operasi di berbagai negara seharusnya pilihan kita bisa langsung investasi sehingga waktunya menjadi lebih sederhana,” kata Yuliot.
Yuliot menuturkan investasi diperlukan untuk meningkatkan produksi migas. Pemerintah menargetkan produksi minyak bumi mencapai 1 juta barel pada periode 2029-2030. Di sisi lain, Indonesia masih memiliki potensi migas yang besar.
“Dari 128 cekungan migas yang baru diusahakan sekitar 20, kita masih punya potensi 108 cekungan migas,” tutur dia.
Sementara itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Migas Kementerian ESDM, Noor Arifin Muhammad, menuturkan pemerintah sudah melakukan sejumlah terobosan. Antara lain fleksibilitas dalam kontrak yang tidak lagi mewajibkan penggunaan skema gross split.
Dia menambahkan pemerintah juga mendorong kegiatan eksplorasi. Misalnya dimungkinkan perpanjangan kontrak apabila kontraktor ingin menambah luas area eksplorasi.
Pemerintah juga tengah menyiapkan studi. Salah satunya penawaran langsung atau
direct offer yang memungkinkan untuk dilakukan tanpa
joint study.
“Mudah-mudahan kita bisa kembali sebelum tahun 2000. Saat itu sangat masif (eksplorasi) mungkin bisa 10 kali lipat,” kata Noor.
Urgensi Revisi UU Migas
Direktur Executive Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyoroti visi kebijakan pemerintah yang terkadang hanya melihat dalam jangka pendek. Padahal, menurut dia, migas merupakan kunci untuk ketahanan energi dan ekonomi.
“Misalkan kalau investor minta insentif, Kemenkeu pasti cara pandangnya penerimaan akan berkurang. Padahal potensi (penerimaan) itu tidak akan muncul kalau investasi tidak datang,” tutur dia.
Komaidi menilai upaya pemerintah belum maksimal dalam meningkatkan iklim investasi migas di Tanah Air. Contohnya, UU Nomor 22 Tahun 2001 semestinya diamendemen sejak 2008. Menurut dia, 60 persen ketentuan di dalam UU tersebut sudah tidak memiliki kekuatan.
“UU Migas mulai di-
mandatory untuk diamandemen sejak tahun 2008, tapi sampai hari ini belum selesai, dan UU juga sudah di judicial review sebanyak tiga kali,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi XII DPR Sugeng Suparwoto mengamini pernyataan Komaidi. Menurut dia, 60 persen pasal dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, upaya pemerintah untuk memperbaiki hal tersebut dinilai belum optimal.
“Terkait UU Migas, ini selalu masuk prolegnas prioritas tapi selalu gagal, ironisnya bukan dari legislatif, tapi pemerintah kadang-kadang menunda. Pasalnya sudah dibatalkan oleh MK, tetapi tidak pernah mencapai kuorum, bahkan pada titik tertentu pemerintah yang menunda. Tapi inilah fakta-fakta dunia politik,” kata politikus Partai NasDem itu.