Klaim Trump Ditepis, Kenapa Thailand-Kamboja Tolak Gencatan Senjata?

PM Thailand, Anutin Charnvirakul dan PM Kamboja, Hun Manet di KTT Kuala Lumpur, 26 Oktober 2025. (EFE-EPA/MOHD RASFAN)

Klaim Trump Ditepis, Kenapa Thailand-Kamboja Tolak Gencatan Senjata?

Riza Aslam Khaeron • 14 December 2025 16:38

Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Sabtu, 13 Desember 2025, menyatakan bahwa Thailand dan Kamboja telah menyepakati pembaruan gencatan senjata yang semula disepakati pada Oktober.

Pernyataan ini disampaikan menyusul bentrokan baru yang pecah sejak 8 Desember, yang dipicu oleh ketegangan yang meningkat setelah Thailand secara sepihak menangguhkan perjanjian damai pada November.

“Saya melakukan pembicaraan yang sangat baik pagi ini dengan PM Thailand, Anutin Charnvirakul, dan PM Kamboja, Hun Manet, terkait pecahnya kembali perang panjang mereka yang sangat disayangkan,” tulis Trump di Truth Social.

“Mereka telah sepakat untuk menghentikan semua tembakan mulai malam ini, dan kembali pada Kesepakatan Damai awal yang kami sepakati bersama, dengan bantuan Perdana Menteri Malaysia yang hebat, Anwar Ibrahim,” lanjutnya.

Namun, klaim Trump segera dibantah oleh Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, yang menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menyetujui gencatan senjata tersebut.

“Thailand akan terus melakukan operasi militer sampai kami merasa tidak ada lagi bahaya dan ancaman terhadap tanah dan rakyat kami,” tulis Anutin di Facebook.

Saat artikel ini disusun, pertempuran telah berlangsung selama enam hari—lebih lama dibandingkan konflik sebelumnya yang hanya empat hari. Belum ada tanda-tanda penghentian konflik dari kedua pihak. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: mengapa kedua negara—atau para pemimpinnya—masih enggan melakukan gencatan senjata? Berikut penjelasannya.
 

Konflik dengan Kamboja Membantu Anutin Menambah Dukungan

PM Thailand, Anutin Charnvirakul. (Thairath)

Dalam analisis Petra Alderman, pengamat dari London School of Economics and Political Science melalui artikelnya di The Conversation, bentrokan perbatasan digunakan Anutin untuk mengatasi krisis popularitas yang sedang dihadapinya saat ini.

Bagi Anutin, kesepakatan damai yang sebelumnya ditandatangani justru menjadi sumber tekanan domestik. Konflik perbatasan yang kembali memanas memantik ledakan sentimen ultra-nasionalis di dalam negeri, sementara Anutin sendiri baru saja menggantikan Paetongtarn Shinawatra yang dicopot karena dianggap terlalu "lunak" terhadap Kamboja.

Dalam konteks ini, Anutin diposisikan untuk tampil keras—karena satu langkah yang dianggap terlalu kompromistis dapat dengan mudah dibaca sebagai kelemahan oleh publik maupun lawan politiknya.

Anutin mulai menjabat pada awal September dengan dukungan People’s Party, memimpin pemerintahan minoritas, dan berjanji menggelar pemilu kilat dalam waktu empat bulan.

Sejak itu, ia berusaha memaksimalkan peluang elektoral dengan membangun relasi strategis bersama militer dan menggalang dukungan dari pemilih konservatif. Karena kedua basis ini sangat diuntungkan oleh eskalasi konflik, Anutin praktis tidak memiliki ruang politik untuk menunjukkan sinyal kelemahan.

Pada November, ia bahkan terpaksa menyampaikan permintaan maaf secara terbuka setelah mengakui bahwa Thailand, seperti halnya Kamboja, pernah melakukan pelanggaran batas wilayah.

"Saya mohon maaf karena telah menimbulkan kecurigaan di kalangan banyak orang, tetapi saya jamin bahwa Thailand tidak akan pernah kehilangan wilayah, kedaulatan, kehormatan, atau martabat, dan semua warga negara kami akan tetap aman dari perselisihan apa pun antara kedua negara. Saya sama sekali tidak akan membiarkan kerugian lebih lanjut terjadi," ujar Anutin.

Beberapa pekan setelah menjabat, Anutin semakin memperkuat posisinya di hadapan publik dan elite militer dengan mengumumkan rencana penyelenggaraan referendum atas dua nota kesepahaman perbatasan yang dibuat pada awal 2000-an, yang mengikat Thailand dan Kamboja untuk bekerja sama dalam proses demarkasi batas darat dan laut.

Lalu pada 10 November, ia secara sepihak menangguhkan implementasi kesepakatan damai dan menuduh Kamboja telah memasang ranjau darat baru yang melukai sejumlah tentara Thailand saat melakukan patroli rutin.

Yang krusial bukan semata tuduhan terhadap Kamboja, melainkan bagaimana peristiwa itu dimanfaatkan secara politis. Alderman menilai bahwa momen ini digunakan secara strategis oleh Anutin untuk memperkuat kredibilitas nasionalisnya dan meraih simpati militer.

Anutin (kanan) menangis saat mengunjungi tentara Thailand yang terluka, 11 November 2025. (via Khaosod)

Ia mengunjungi langsung prajurit yang terluka, terlihat menangis di sisi ranjang rumah sakit, dan menginstruksikan agar militer diberikan wewenang penuh untuk melindungi "kedaulatan" Thailand.

Langkah ini relevan karena militer Thailand secara historis tidak pernah benar-benar tunduk pada otoritas sipil.

Membiarkan militer menangani konflik secara langsung tanpa membuka jalur diplomasi merupakan cerminan dari narasi lama bahwa militer adalah benteng terakhir penjaga negara. Hal ini sekaligus memberi peluang bagi Anutin untuk menunggangi popularitas militer yang tengah meningkat di mata publik.

Di saat bersamaan, tekanan domestik terhadap Anutin semakin besar. Alderman mencatat bahwa ia mendapat pukulan politik serius akibat penanganan banjir besar di Hat Yai—yang terjadi bersamaan dengan bencana serupa di wilayah Sumatra.

Selain itu, muncul pula kontroversi yang mengaitkan Anutin serta beberapa pejabat senior di pemerintahannya dengan Benjamin Mauerberger, seorang pelaku penipuan lintas negara yang menjadi sorotan internasional.

Setelah banjir, popularitas Anutin menurun drastis. Berdasarkan survey dari Universitas Suan Dusit, approval rating Anutin turun dari 48% menjadi 23% setelah isu-isu menjadi perbincangan publik.

Sementara itu, skandal Mauerberger semakin menggerus legitimasi narasi antikorupsi yang selama ini ia bangun. Dalam kondisi demikian, eskalasi perbatasan menjadi semacam distraksi politik yang berguna untuk menutup celah di dalam negeri.

Foto: Banjir di Thailand. (Anadolu)

Hanya lima hari setelah pecahnya kembali bentrokan pada 7 Desember, Anutin mengambil langkah mengejutkan dengan membubarkan parlemen pada 11 Desember.

Langkah ini dinilai lebih cepat dari perkiraan dan dianggap sebagai strategi untuk menghindari mosi tidak percaya, terutama karena adanya perbedaan sikap antara dirinya dan People’s Party terkait rencana amandemen konstitusi 2017 yang disusun oleh militer.

Sebagai pemimpin pemerintahan minoritas, Anutin dipandang kecil kemungkinan untuk bertahan jika mosi tersebut benar-benar bergulir, sehingga ia memilih untuk “mematikan” parlemen lebih dulu.
 
Baca Juga:
Tolak Klaim Trump, PM Thailand Akan Lanjutkan Aksi Militer terhadap Kamboja
 

Konflik Sebagai Pengalihan Isu Ekonomi Kamboja yang Memburuk

Foto: Hun Manet dalam percakapan telepon. (Akun Facebook Hun Manet)

Di lain sisi, PM Kamboja Hun Manet, yang mewarisi kekuasaan dari ayahnya Hun Sen, juga menghadapi tekanan politik domestik yang signifikan. Salah satu tekanan utama datang dari perlambatan pertumbuhan ekonomi yang bertentangan dengan agenda pembangunan ambisius yang ia canangkan sejak awal masa jabatannya.

Konflik perbatasan dengan Thailand memperparah situasi ini, namun tekanan faktor eksternal, seperti diberlakukannya tarif perdagangan oleh Amerika Serikat dan berkurangnya arus investasi dari Tiongkok, mitra dagang dan investor utama Kamboja mempeberuk kondisi ekonomi.

Berdasarkan data Dewan Pembangunan Kamboja, investasi asing (FDI) dari Tiongkok berkurang menjadi 33,8% pada tahun 2024 dari total FDI yang diterima Kamboja. Investasi dari Tiongkok berkurang 16,2% dibanding total FDI dari Tiongkok sebesar 49,8% tahun 2023.

Dalam kondisi seperti ini, Hun Manet berpotensi menggunakan ketegangan perbatasan sebagai alat konsolidasi nasional—dengan memanfaatkan efek "rally around the flag" untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu domestik yang lebih sensitif.

Strategi semacam ini dapat memperkuat posisi Hun Manet dengan menampilkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas dalam menghadapi ancaman eksternal.

Namun tekanan terhadap Hun Manet tidak berhenti pada bidang ekonomi. Reputasi internasional Kamboja juga berada dalam sorotan tajam akibat maraknya jaringan pusat penipuan daring yang beroperasi dari wilayah negara tersebut.

Alderman menyoroti sanksi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Inggris terhadap pengusaha Chen Zhi, tokoh yang dianggap berperan besar dalam industri penipuan dan memiliki koneksi kuat dengan elite Partai Rakyat Kamboja.

Dampak dari sanksi ini bersifat ganda—merugikan ekonomi dan sekaligus mencoreng kredibilitas kampanye antikorupsi yang ingin dibangun Hun Manet sebagai diferensiasi dari kepemimpinan ayahnya.

Meskipun begitu, berbeda dengan PM Thailand, Hun Manet tampak menunjukan keterbukaan terhadap prospek gencatan senjata seperti halnya pada hari Sabtu ketika ia menyambut gencatan senjata hasil mediasi Trump dan PM Malaysia Anwar Ibrahim.

"Kamboja menyambut baik dan mendukung inisiatif dari Yang Mulia Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, untuk mengadakan gencatan senjata malam ini, yang akan dipantau oleh Kelompok Pengamat ASEAN (AOT) dan melibatkan partisipasi Amerika Serikat," tulisnya di Facebook.

Dalam kerangka inilah, konflik dengan Thailand dapat digunakan sebagai saluran alternatif untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri. Menggeser fokus publik ke isu pertahanan nasional dan kedaulatan negara merupakan strategi pengalihan yang kerap digunakan oleh pemerintah dalam situasi terdesak.

Tambahan lagi, Kamboja secara historis lebih sering memilih pendekatan internasionalisasi konflik, termasuk mengandalkan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) sebagaimana yang pernah dilakukan dalam kasus sengketa Preah Vihear—wilayah yang menjadi sumber ketegangan utama di perbatasan.

Konteks di Thailand turut memperkuat kompleksitas ini. Pembubaran parlemen oleh Anutin menciptakan kekosongan kekuasaan dan memberi ruang bagi militer Thailand untuk lebih bebas bertindak. Sementara itu, pemilu kilat yang dijadwalkan dalam dua bulan ke depan menambah ketidakpastian politik.

Alderman menilai bahwa kondisi ini memperbesar insentif bagi elite politik Thailand—termasuk partai-partai konservatif—untuk memanfaatkan konflik sebagai instrumen mobilisasi dan legitimasi elektoral.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)