Fungsional Madya Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG, Dwi Atmoko/Metro TV/Adinda
Adinda Vinka • 25 October 2025 00:19
Jakarta: Jakarta mengalami peningkatan konsentrasi polusi udara selama musim kemarau tahun ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, kondisi kering tanpa hujan membuat partikel debu dan polutan tidak tersapu dari atmosfer, sehingga kualitas udara menurun drastis di wilayah Jabodetabek.
Fungsional Madya Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG, Dr. Dwi Atmoko, mengatakan pengukuran polutan di musim kemarau menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan musim hujan. Penyebab utamanya adalah tidak adanya proses “pencucian atmosfer” yang biasa terjadi ketika hujan turun.
“Mungkin pertama pengukurannya memang di musim kemarau. Jadi di dalam musim kemarau itu konsentrasi cenderung kering. Karena tidak ada pencucian atmosfer tadi. Jadi otomatis debu-debunya di udara itu tidak terendapkan melalui air hujan,” ujar Dwi di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis 24 Oktober 2025.
Selain faktor cuaca, Dwi juga menyebut sumber polusi terbesar di Jabodetabek masih berasal dari transportasi. Pembakaran bahan bakar fosil dari kendaraan menghasilkan aerosol yang meningkatkan kadar PM2.5 di udara, terutama saat suhu tinggi.
“Faktor yang mempengaruhi polusi adalah karena tidak ada hujan. Bisa jadi karena ada namanya inversi. Atmosfer kita itu ibarat paru-paru, dia bisa mengembang dan mengempis. Nah, saat ada inversi, ruang sirkulasi polutan jadi lebih sempit,” jelasnya.

BMKG mencatat Indonesia masih berada dalam masa monsun Australia, dengan dominasi angin kering dari timur dan selatan. Kondisi ini menyebabkan hujan jarang terjadi dan uap air di udara rendah. Akibatnya, polusi udara menumpuk di permukaan dan membuat kualitas udara di Jabodetabek masuk kategori tidak sehat. Dwi menambahkan, kondisi ini bersifat musiman, namun tetap perlu diantisipasi dengan pengendalian emisi dari sumber utama, yakni transportasi dan pembakaran sampah.