Ekonom Faisal Basri. Foto: MI/Sumaryanto.
Arif Wicaksono • 11 August 2023 14:43
Jakarta: Ekonom Faisal Basri akan mendukung sepenuhnya industrialisasi meskipun menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuk sekarang.
Dia mengatakan hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh Tiongkok dan mendukung industrialisasi di Tiongkok, bukan di Indonesia.
Dia menjelaskan kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1 persen pada 2014 menjadi hanya 18,3 persen pada 2022. Ini merupakan titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun. Memang ada, tetapi jumlahnya sangat sedikit.
"Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis. Yang dikatakan oleh Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72. Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel matte. Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke Tiongkok," jelas dia dalam Blog resminya, dikutip Jumat, 11 Agustus 2023.
Di Tiongkok, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia. Dalam porsi yang jauh lebih rendah adalah semi-finished products.
"Sejauh ini tak satupun pabrik smelter yang berada di Sulawesi telah memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau besi baja sebagai finished products. Rel untuk kereta cepat saja seluruhnya masih diimpor dari Tiongkok," jelas da.
Dia mengatakan, smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Namun siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak Tiongkok yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen.
"Hampir semua smelter nikel milik pengusaha Tiongkok. Oleh karena itu dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air," jelas dia yang menambahkan hampir seratus persen modal berasal dari perbankan Tiongkok, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke Tiongkok.