Bangun Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja dengan Sinergitas Individu dan Organisasi

Ilustrasi freepik

Bangun Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja dengan Sinergitas Individu dan Organisasi

Whisnu Mardiansyah • 25 November 2025 22:59

Jakarta: Setiap pekan pertama November, dunia memperingati Hari Kesadaran Stres (Stress Awareness Day). Tahun ini, peringatan tersebut terasa semakin relevan seiring meningkatnya tekanan di dunia kerja dan kaburnya batas antara tuntutan pekerjaan dengan kesehatan mental.

Di balik rapat virtual dan pesan pekerjaan yang datang di luar jam kerja, banyak pekerja diam-diam berjuang melawan kelelahan mental. Stres kerja modern tidak lagi sekadar tentang beban tugas, melainkan telah berevolusi menjadi tekanan terselubung, ekspektasi untuk selalu tersedia, budaya produktivitas tanpa henti, ketidakpastian karir, dan kompetisi yang semakin ketat.

Data yang Mengkhawatirkan

Berbagai survei global mengonfirmasi kondisi memprihatinkan ini. Deloitte pada 2024 mencatat mayoritas pekerja muda menempatkan stres kerja sebagai ancaman terbesar bagi kesehatan mental mereka. Sementara di Indonesia, Survei Jakpat 2024 menunjukkan hampir 70 persen pekerja muda berencana pindah pekerjaan akibat tekanan emosional dan lingkungan kerja yang tidak sehat.

Tekanan mental semakin diperparah oleh media sosial yang menormalisasi grind culture dan hustle mindset. Banyak orang merasa bersalah ketika tidak terus-menerus produktif, seolah nilai diri mereka bergantung pada tingkat kesibukan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini memicu burnout, hilangnya motivasi, gangguan tidur, hingga perasaan gagal ketika tubuh meminta jeda. Fenomena quiet quitting muncul sebagai strategi bertahan, bukan tanda kemalasan. Pekerja hadir secara fisik namun menarik diri secara emosional karena energi mental telah terkuras habis.

Perubahan pola kerja pascapandemi juga menciptakan stres baru. Sistem hybrid dan remote work meski menawarkan fleksibilitas, justru menimbulkan rasa isolasi, komunikasi tidak efektif, dan jam kerja yang semakin tidak terukur.

Strategi Mengatasi dan Peran Organisasi

Menetapkan batasan sehat menjadi kunci menghadapi tekanan ini. Mahasiswi Program Studi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara Kurnianingrum Ayu Miranti menjelaskan pentingnya kesadaran akan batas kemampuan.

"Banyak pekerja tidak menyadari bahwa mereka sudah melewati batas kapasitas emosinya. Ketika tuntutan pekerjaan terus berjalan tanpa jeda, tubuh dan pikiran tidak punya kesempatan untuk pulih," ujarnya, Senin, 24 November 2025.

Selain menetapkan batasan, menjaga ritme kerja seimbang dan menyediakan jeda singkat merupakan kebutuhan biologis untuk mempertahankan fokus. Aktivitas seperti journaling, meditasi, olahraga ringan, atau sekadar berbincang dengan orang terpercaya dapat membantu meredakan tekanan emosional.

Namun, mengandalkan strategi individu saja tidak cukup. Dosen Program Studi Magister Psikologi Universitas Tarumanagara Zamralita menekankan peran organisasi dalam menciptakan lingkungan kerja sehat.

"Organisasi memiliki peran kunci dalam membangun lingkungan kerja yang aman dan manusiawi," tegasnya.

Budaya supervisi suportif, evaluasi kinerja yang tidak semata berbasis angka, serta kebijakan kerja yang mempertimbangkan kesejahteraan pekerja perlu menjadi standar baru. Organisasi harus melihat kesehatan mental sebagai komponen strategis dalam keberlanjutan bisnis, bukan sekadar isu pribadi karyawan.

Hari Kesadaran Stres mengingatkan bahwa dunia kerja modern tidak boleh lagi menormalisasi stres sebagai simbol profesionalisme. Produktivitas sejati bukan tentang siapa yang paling lelah, tetapi tentang siapa yang diberi ruang untuk bernapas, tumbuh, dan merasa dihargai.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)