Murid di Korea Utara mengikuti proses pembelajaran. Foto: Yonhap
Warga Korut Terpaksa Cari Kayu Bakar demi Hangatkan Ruang Kelas
Fajar Nugraha • 18 December 2025 15:11
Hamhung: Para orang tua siswa di Korea Utara (Korut) kini harus bergantian mencari kayu bakar untuk memanaskan ruang kelas anak-anak mereka. Langkah ini diambil setelah harga kayu bakar melonjak drastis dari 200.000 won (sekitar Rp448.000) menjadi 500.000 won (sekitar Rp1,1 juta) per meter kubik.
“Orang tua di beberapa sekolah di Hamhung dan bagian lain provinsi ini telah menjelajahi hutan untuk mengumpulkan kayu bakar. Orang tua bertanggung jawab menyediakan kayu bakar yang dibutuhkan untuk menghangatkan ruang kelas anak-anak mereka,” kata sebuah sumber di Provinsi Hamgyong Selatan seperti dikutip dari Daily NK, Kamis, 18 Desember 2025.
Penyediaan bahan bakar yang awalnya merupakan tanggung jawab sekolah atau pemerintah daerah, kini sepenuhnya dilimpahkan kepada siswa dan orang tua. Beban ini menjadi sangat berat tahun ini karena harga kayu bakar di pasar meroket lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Karena tingginya harga bahan bakar, para guru wali kelas memberikan tiga opsi kepada orang tua murid, menyerahkan stok kayu bakar di awal, membayar tunai sebagai pengganti, atau melakukan piket harian untuk mencari kayu bakar secara mandiri. Bagi keluarga yang mampu, mereka biasanya membayar tunai agar pihak sekolah yang membeli kayu tersebut.
Namun, di salah satu sekolah menengah di Hamhung, tercatat hanya delapan dari 27 keluarga siswa yang mampu membayar tunai. Sisanya, atau mayoritas orang tua, terpaksa memilih sistem rotasi harian atau tugas kayu bakar.
Dalam sistem piket ini, satu keluarga bertanggung jawab penuh menyediakan kayu bakar untuk menjaga suhu kelas tetap hangat selama satu hari penuh.
Orang tua yang tidak memiliki uang terpaksa menempuh perjalanan jauh ke pinggiran kota untuk mencari kayu di hutan dan tak jarang siswa harus bolos sekolah selama beberapa hari demi membantu mengumpulkan kuota kayu bakar tersebut.
Warga sering kali nekat masuk ke area hutan lindung meski berisiko ditangkap oleh petugas kehutanan dan sumber tersebut mengatakan beberapa keluarga tidak punya pilihan lain selain ke hutan meski ada risiko hukuman. Namun, sebagian besar petugas biasanya menutup mata setelah mengetahui alasan mereka mencari kayu untuk sekolah.
Masalah tambahan muncul karena kayu yang dikumpulkan secara terburu-buru umumnya masih basah di mana kayu jenis ini sangat sulit dinyalakan dan menghasilkan asap tebal yang mengganggu pernapasan.
Sumber tersebut menambahkan, ketika kayu basah digunakan, ruang kelas dipenuhi asap yang mengiritasi mata dan tenggorokan, sehingga proses belajar-mengajar menjadi terhambat dan masalah pemanas kelas ini menjadi beban besar bagi semua pihak, dan warga yang bisa berharap siklus kesulitan ini segara berakhir.
(Kelvin Yurcel)