Anggota DPR RI Komisi XII Fraksi Partai NasDem Dapil Kalbar 2, Gulam Mohamad Sharon. Istimewa
Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian ESDM menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi bauksit kini memasuki fase kritis. Turunnya produksi nasional dan belum optimalnya pembangunan smelter dalam negeri mendorong pemerintah mulai mempertimbangkan opsi relaksasi ekspor bijih bauksit agar kegiatan ekonomi di hulu tambang tetap berjalan.
Anggota Komisi XII DPR RI, Gulam Mohamad Sharon tak sepakat wacana relaksasi ekspor tersebut. Menurutnya, membuka kembali keran ekspor bijih bauksit berpotensi menghambat hilirisasi, serta menurunkan kepercayaan investor yang sedang atau akan membangun smelter.
“Saya mendukung penuh kebijakan Presiden dalam membangun ekosistem industri nasional. Tapi kalau ekspor dibuka lagi, kita harus pikirkan ulang. Ini bisa mengulang kesalahan masa lalu, di mana begitu ekspor dibuka, banyak investor membatalkan pembangunan smelter,” kata Sharon di Jakarta, Jumat, 2 Mei 2025.
Sharon menyebut laragan pernah diberlakukan di era Presiden SBY, yang mendorong pembangunan smelter oleh WHW di Kalimantan Barat. Namun setelah kebijakan dilonggarkan, komitmen pembangunan banyak yang terhenti karena lebih menguntungkan menjual material mentah.
“Zaman itu WHW bangun karena ekspor ditutup. Tapi ketika dibuka lagi, banyak yang berhenti membangun karena lebih untung jual bahan mentah. Kalau pola ini terus berulang, investor akan ragu menaruh uangnya di proyek jangka panjang,” ujarnya.
Legislatir dari Kalimantan Barat itu menyayangkan proyek-proyek smelter yang mandek. Seperti PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Laman Mining, PT Kalbar Bumi Perkasa, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Quality Sukses Sejahtera dan PT Sumber Bumi Marau. Ia mempertanyakan urgensi relaksasi ekspor, sementara banyak proyek bahkan belum memulai konstruksi.
“Tiangnya saja belum ada (pembangunan smelter). Kalau mau relaksasi, harus ditinjau ulang apakah sesuai dengan visi dan misi Presiden. Jangan sampai relaksasi membuat yang mau komit bangun jadi mundur semua,” ungkapnya.
Ia menegaskan solusi saat ini bukan dengan membuka keran ekspor, melainkan dengan mempercepat pembangunan smelter, memberikan insentif investasi, dan menjamin penerapan Harga Patokan Mineral (HPM) yang adil, terutama untuk pelaku usaha lokal.
“Kalau kita mau bentuk ekosistem industri yang sehat, hentikan ekspor, permudah izin, beri ruang dan insentif bagi smelter, serta kawal penerapan HPM agar tambang-tambang lokal tidak ditekan oleh pembeli,” tambahnya.
Meski pemerintah menyebut kondisi hilirisasi sudah berada di titik kritis karena penurunan produksi dan belum rampungnya banyak smelter, Sharon menilai ini justru waktu yang tepat untuk menegaskan arah kebijakan nasional.
“Jangan goyah hanya karena prosesnya berat. Kalau kita konsisten, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia bisa menjadi pemain utama industri aluminium, bukan hanya penjual bijih mentah,” tutup Sharon.