Demonstrasi terhadap Tony Blair, cap sebagai penjahat perang, 2010. (Al-Jazeera)
Riza Aslam Khaeron • 25 February 2025 15:25
Jakarta: Mantan Perdana Menteri (PM) Inggris, Tony Blair, kembali menjadi sorotan setelah ditunjuk sebagai pengawas di Badan Pengelola Investasi Danantara. Pada Senin, 24 Februari 2025, Blair secara resmi ditunjuk sebagai salah satu pengawas Danantara, sebuah badan yang bertanggung jawab atas pengelolaan investasi di Indonesia.
Kepala Danantara, Rosan P. Roeslani, mengonfirmasi bahwa Blair adalah salah satu nama yang masuk dalam jajaran pengawas.
"Iya (Tony Blair) salah satunya (pengawas)," ujar Rosan di Jakarta, Senin, 24 Februari 2025.
Penunjukan ini memicu perdebatan, mengingat rekam jejak Blair dalam kebijakan luar negeri, bersama dengan Presiden Amerika Serikat sebelumnya, George W. Bush, mengirim pasukan barat ke Irak, yang akhirnya menewaskan lebih dari 100 ribu warga Irak termasuk warga sipil.
Blair dan Bush mengirim melancarkan invasi tersebut atas dugaan "senjata pemusnah" Presiden Irak, Saddam Hussein, yang masih tidak terbukti keberadaannya sampai saat ini. Berikut ulasan lengkap terkait dugaan kejahatan perang sang Mantan PM Inggris.
Tribunal Kuala Lumpur: Blair Dinyatakan Bersalah
Gambar: Poster Kuala Lumpur War Crimes Tribunal. (Dok. Perdana Global Peace Foundation)
Mengutip Al Jazeera pada 28 November 2011, sebuah tribunal di Kuala Lumpur, Malaysia, menyatakan Tony Blair dan mantan Presiden AS, George W. Bush, bersalah atas kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida terkait peran mereka dalam invasi Irak tahun 2003.
Tribunal ini dilakukan oleh Kuala Lumpur War Crimes Tribunal (KLWCT), yang setelah dua tahun investigasi, menjatuhkan putusan tersebut pada 22 November 2011.
Sidang tribunal ini berlangsung selama empat hari, dari 19 hingga 22 November, dengan melibatkan lima hakim yang memiliki latar belakang akademis dan yudisial. Para terdakwa diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan atau mengirim perwakilan, tetapi mereka menolak untuk hadir.
Meskipun keputusan KLWCT tidak dapat ditegakkan secara hukum dalam sistem peradilan internasional, tribunal ini mengklaim telah mengikuti prosedur hukum yang bertanggung jawab.
Putusan tribunal tidak hanya menyatakan Blair dan Bush bersalah, tetapi juga mengeluarkan dua "Orders": pertama, melaporkan hasil persidangan ke Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag; kedua, memasukkan nama mereka dalam Register of War Criminals yang dikelola oleh KLWCT.
Selain itu, tribunal merekomendasikan agar hasil investigasi ini dilaporkan ke negara-negara anggota Statuta Roma, yang memungkinkan yurisdiksi universal terhadap pelanggaran hukum internasional.
KLWCT dibentuk sebagai inisiatif mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, dengan tujuan memberikan keadilan bagi korban perang yang tidak mendapatkan akses ke peradilan internasional.
Tribunal ini terdiri dari panel hakim independen dan mendengarkan berbagai kesaksian dari saksi ahli serta korban perang yang terdampak langsung oleh kebijakan Blair dan Bush. Dalam persidangan, beberapa saksi memberikan bukti mengenai dampak perang Irak, termasuk kehancuran infrastruktur, penderitaan warga sipil, serta dugaan penggunaan metode penyiksaan oleh pasukan sekutu.
Laporan Chilcot Inquiry
Laporan Chilcot Inquiry, yang dipimpin oleh Sir John Chilcot, merupakan penyelidikan independen terhadap keterlibatan Inggris dalam perang Irak, yang berlangsung dari tahun 2001 hingga 2009. Laporan ini diterbitkan pada 6 Juli 2016 dan berisi kritik tajam terhadap keputusan pemerintahan Blair untuk bergabung dalam invasi.
Laporan tersebut menyatakan bahwa Blair memilih untuk mendukung invasi Irak sebelum semua opsi diplomatik habis. "Aksi militer pada saat itu bukanlah pilihan terakhir," demikian kesimpulan Chilcot Inquiry.
Selain itu, laporan ini menyoroti bahwa klaim pemerintah Inggris tentang ancaman senjata pemusnah massal (WMD) yang dimiliki Saddam Hussein "disampaikan dengan keyakinan yang tidak dapat dibenarkan."
Penyelidikan juga mengungkapkan bahwa meskipun ada peringatan eksplisit, pemerintah Inggris meremehkan konsekuensi invasi.
"Perencanaan dan persiapan Inggris untuk situasi pasca-Saddam Hussein sangat tidak memadai," kata Chilcot dalam pernyataan publiknya. Akibat dari invasi ini, Inggris gagal mencapai tujuan yang telah dinyatakan sebelumnya.
Blair sendiri tetap bersikeras bahwa keputusannya sudah benar. Namun, dalam wawancara setelah laporan ini dirilis, ia mengakui bahwa informasi intelijen yang mendukung keputusan invasi "tidak akurat."
Reaksi Keluarga Korban Perang Irak
Foto: Rose Gentle dengan foto putranya yang tewas. (Murdo MacLeod/The Guardian)
Rose Gentle, ibu dari Gordon Gentle, seorang tentara Inggris yang tewas di Irak pada 28 Juni 2004, menyalahkan Blair atas kematian putranya.
Dalam wawancara dengan The Guardian pada tahun 2023, ia berkata, "Saya melihat Tony Blair dan mengatakan: 'Anda membunuh anak saya.' Saya tetap merasa seperti itu sampai sekarang." Ia menambahkan bahwa Blair seharusnya diadili sebagai penjahat perang, bukan hanya menjalani penyelidikan tanpa konsekuensi.
Gentle telah menghabiskan bertahun-tahun memperjuangkan keadilan bagi putranya dan keluarga korban lainnya. Ia merasa bahwa pemerintah Inggris telah gagal memberikan perlindungan yang memadai kepada tentara mereka di Irak.
Dalam investigasi yang dilakukan setelah kematian Gordon, ditemukan bahwa peralatan anti-ranjau yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa prajurit tersebut berada kurang dari satu mil dari lokasi kejadian, tetapi tidak digunakan.
"Saya hanya ingin tahu mengapa anak saya dikirim ke perang yang tidak perlu dan tidak diberikan perlengkapan yang cukup untuk bertahan hidup," kata Gentle.
Ia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap hasil penyelidikan Chilcot Inquiry yang mengonfirmasi bahwa Blair telah melebih-lebihkan ancaman Saddam Hussein dan tidak memberikan alternatif damai sebelum memutuskan invasi.
Meskipun laporan ini membuktikan bahwa keputusan Blair didasarkan pada informasi yang salah, tidak ada tindakan hukum yang diambil terhadapnya.
"Blair berkata bahwa ada kesalahan, tetapi mengapa ia tetap melakukannya?" ujar Gentle. Ketika berhadapan langsung dengan Blair dalam sebuah kesempatan, ia berkata, "Anda membunuh anak saya," tetapi Blair tidak memberikan tanggapan dan segera meninggalkan ruangan dengan pengawalnya.
Upaya Hukum yang Gagal
Upaya untuk mengadili Blair di pengadilan Inggris atas kejahatan perang Irak gagal. Pada 31 Juli 2017, pengadilan tinggi di London menolak tuntutan yang diajukan oleh seorang mantan jenderal Irak, Abdulwaheed Al Rabbat, dengan alasan bahwa hukum Inggris tidak memiliki ketentuan spesifik mengenai "kejahatan agresi" yang bisa diterapkan secara retroaktif.
Perang Irak yang berlangsung dari 2003 hingga 2009 menewaskan lebih dari 100.000 warga sipil Irak, 179 tentara Inggris, dan hampir 4.500 personel militer AS. Meskipun dampaknya sangat besar, Blair tetap mempertahankan keputusannya dengan menyatakan bahwa dunia menjadi "tempat yang lebih baik" tanpa Saddam Hussein
Sebagai respons atas kekebalan Blair dari konsekuensi hukum, lebih dari 1,1 juta orang menandatangani petisi di Change.org yang menuntut agar gelar kehormatan "Knight Companion of the Most Noble Order of the Garter" yang diberikan kepada Blair dicabut.
Petisi ini menegaskan bahwa Blair bertanggung jawab atas kematian banyak warga sipil dan personel militer dalam konflik yang tidak sah dan seharusnya tidak mendapatkan penghargaan atas tindakan tersebut.