Menlu Sugiono foto bersama pemimpin dunia di KTT BRICS. Foto: Instagram
M Rodhi Aulia • 4 April 2025 21:27
Jakarta: Indonesia diyakini mampu menghadapi kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kemampuan itu karena pemerintah telah mengambil langkah strategis melalui penguatan diplomasi ekonomi dan kebijakan makro yang solid.
Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan bahwa Indonesia mampu karena telah mengambil langkah strategis untuk menghadapi ketidakpastian perdagangan global seperti kebijakan Trump.
“Kita sudah menjadi anggota BRICS sehingga bisa memudahkan diplomasi ekonomi Indonesia dalam rangka untuk memperkuat penetrasi market bagi produk-produk kita untuk diekspor ke negara-negara anggota BRICS tersebut. Seperti itu, kita sudah antisipasi,” kata Nafan yang dikutip, Jumat, 4 April 2025.
Nafan menilai bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS—yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—memberi ruang lebih besar untuk membangun aliansi dagang non-tradisional di tengah tekanan global.
Baca juga: Sikapi Tarif Trump, Pemerintah Kirim Tim Lobi Tingkat Tinggi ke AS
Ia menambahkan, kekuatan fundamental makroekonomi Indonesia menjadi modal utama dalam menghadapi perang dagang. Salah satu langkah penting yang diambil Presiden RI Prabowo Subianto adalah mewajibkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Sumber Daya Alam (SDA) untuk disimpan di dalam negeri selama 12 bulan penuh.
“Terlihat dari cadangan devisa kita. Memang jika cadangan devisa kita bisa ditargetkan di kisaran 165 miliar dolar AS. Sejak penerapan kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam kita, yang memang telah diterapkan 1 Maret pada waktu itu, ya memang semestinya bisa memperkuat cadangan devisa kita ke depannya,” ucap Nafan.
Dengan cadangan devisa yang semakin solid, menurutnya, posisi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan masa krisis moneter dahulu, saat cadangan devisa hanya sekitar 15 miliar dolar AS.
“Jadi otomatis resiliensi kita juga relatif lebih kuat kalau menurut saya dalam rangka menghadapi ketidakpastian global dan memang salah satunya adalah terkait dengan trade fragmentation yang diterapkan oleh Donald Trump,” kata dia.
Ia juga menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara seperti Tiongkok dan India yang masih tinggi menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperluas pasar ekspor. Kedua negara itu berpeluang pertumbuhan ekonominya bisa di atas 5 persen.
“Jadi memang jauh lebih tinggi juga dibandingkan AS yang hanya sekitar 2%. Jadi memang kita bisa memaksimalkan potensi tersebut dan memperkuat kapasitas dan kapabilitas ekspor kita,” jelas dia.
Menurutnya, Indonesia telah mengambil peluang tersebut. Yang dibutuhkan saat ini adalah penguatan strategi diplomasi ekonomi yang adaptif dengan tetap menjunjung prinsip politik luar negeri bebas aktif.
“Sebenarnya peluangnya sudah kita ambil. Tinggal kita memaksimalkan diplomasi ekonomi kita yang memang lebih adaptif. Karena kita juga menerapkan prinsip politik luar negeri bebas dan aktif,” tutupnya.