Ilustrasi. Foto: Freepik.
Eko Nordiansyah • 25 September 2025 12:30
Jakarta: Kini muncul fenomena baru di dunia kerja yang disebut quiet covering. Istilah ini diperkenalkan oleh profesor Kenji Yoshino untuk menggambarkan praktik karyawan menyembunyikan identitas pribadi agar terhindar dari stereotip, diskriminasi, atau penilaian negatif. Identitas yang sering ditutupi mencakup ras, gender, orientasi seksual, usia, agama, hingga kondisi kesehatan, demi merasa aman atau meningkatkan peluang karier.
Fenomena ini lebih kuat dialami generasi Z. Mereka dilaporkan dua kali lebih sering menyembunyikan identitas dibanding generasi boomer, bahkan 56 persen melakukannya saat berinteraksi dengan bagian HR. Menurut Tia Katz, pendiri Hu-X, covering bukan tanda kelemahan, melainkan strategi perlindungan diri di lingkungan kerja yang menuntut kepercayaan diri. Namun, praktik ini memiliki dampak serius.
Studi Hu-X x Hi-Bob mencatat bahwa hal ini dapat menyebabkan stres, menurunkan produktivitas, menghambat perkembangan karier, membatasi kreativitas, hingga menurunkan performa. Katz menegaskan energi karyawan akan habis jika dipakai menjaga persepsi orang lain, sehingga kondisi ini melelahkan dan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Baca juga:
Magang Pemerintah Dapat Gaji UMP, Begini Cara Daftarnya |
Hal serupa juga terlihat dalam penggunaan teknologi. Studi PR Newswire menemukan banyak karyawan Gen Z yang menutupi penggunaan AI dalam mempercepat pekerjaan, seperti merangkum catatan rapat dan bertanya pendapat. Mereka enggan terbuka karena khawatir pekerjaannya akan digantikan teknologi.
Sebanyak 47 persen responden Gen Z dan Milenial cemas kehilangan pekerjaan akibat AI, sementara 30 persen tidak memahami kebijakan perusahaan, sehingga cenderung memakai perangkat lunak pribadi yang berisiko bagi keamanan perusahaan.
Menurut Katz, quiet covering adalah sinyal bagi perusahaan untuk mengevaluasi. Ketika keaslian individu dianggap sebagai liabilitas, perusahaan akan kehilangan kreativitas dan inovasi. Ia menyarankan perusahaan untuk menjadikan fenomena ini sebagai evaluasi, bukan bentuk perlawanan. Generasi Z membutuhkan ruang untuk menentukan batasan diri, agar mereka dapat dihargai bukan karena keseragaman, melainkan kontribusi unik yang dimiliki. (Aulia Rahmani Hanifa)