Gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 24 June 2025 17:10
Washington: Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS), yang mayoritas anggotanya merupakan hakim konservatif, pada Senin, 23 Juni 2025, mengabulkan permintaan darurat dari pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mencabut larangan sementara terhadap kebijakan deportasi migran ke negara ketiga—yaitu negara selain negara asal mereka.
Mengutip dari France 24, Selasa, 24 Juni 2025, keputusan ini membuka jalan bagi pemerintah AS untuk kembali menerapkan kebijakan yang memungkinkan pemindahan migran ke negara asing yang bersedia menerima mereka.
Namun, kebijakan ini menuai kritik luas karena dianggap mengabaikan prinsip perlindungan hukum dasar bagi pencari suaka dan migran tanpa dokumen.
Putusan Mahkamah Agung tersebut dikeluarkan tanpa penjelasan rinci. Tiga hakim liberal—termasuk Sonia Sotomayor—menyatakan dissenting opinion dan menolak keputusan tersebut. Dalam opininya, Sotomayor menyebut langkah tersebut sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum” yang berpotensi membahayakan ribuan migran.
Langkah Mahkamah ini bersifat sementara, karena perkara utamanya masih menunggu putusan di pengadilan banding. Namun, selama proses hukum berjalan, pemerintahan Trump diizinkan melanjutkan praktik deportasi ke negara ketiga.
Sebelumnya, Hakim Distrik Brian Murphy—yang ditunjuk oleh Presiden Joe Biden—membekukan kebijakan tersebut pada April. Ia menilai para migran tidak diberi cukup waktu dan kesempatan untuk membela diri, termasuk mengajukan bukti bahwa mereka bisa menghadapi penyiksaan atau kematian jika dideportasi. Murphy mewajibkan pemerintah memberikan waktu minimal 15 hari bagi para migran untuk menantang keputusan tersebut.
Kasus ini melibatkan delapan migran, termasuk dua pria asal Myanmar, dua dari Kuba, satu dari Vietnam, satu dari Laos, satu dari Meksiko, dan satu dari Sudan Selatan. Pemerintah menyebut mereka pelaku kriminal kekerasan, sementara negara asal mereka menolak memulangkan mereka. Para migran tersebut sempat diterbangkan ke Sudan Selatan—negara yang dilanda konflik dan kemiskinan ekstrem—sebelum akhirnya diperintahkan kembali dan kini ditahan di pangkalan militer AS di Djibouti.
Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menyambut baik putusan Mahkamah Agung dan menyebutnya sebagai “kemenangan untuk keselamatan rakyat Amerika.” Dalam pernyataan di platform X, DHS menyebut para migran tersebut sebagai “pelaku kejahatan yang bahkan ditolak oleh negara asal mereka,” sambil menyerukan, “Nyalakan kembali pesawat deportasi.”
Sementara itu, Presiden Trump—yang kembali menjabat sejak Januari—telah menjadikan deportasi massal sebagai salah satu prioritas kebijakannya. Namun, berbagai inisiatif tersebut kerap menghadapi tantangan hukum, termasuk dari Mahkamah Agung sendiri.
Putusan ini memperlihatkan ketegangan yang terus berlangsung antara cabang eksekutif dan yudikatif dalam menangani isu imigrasi, serta memperkuat sorotan atas pendekatan Trump terhadap hukum dan hak asasi manusia. (Muhammad Reyhansyah)
Baca juga: Banjiri Jalanan AS, Gelombang Demonstran Menentang 'Raja' Trump