Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin bertemu di Moskow pada 10 Desember 2025. Foto: BPMI Setpres
Jakarta: Pengaruh Rusia dalam percaturan politik dunia makin meluas. Kawasan Indo-Pasifik pun tak luput dari tangan pengaruh Rusia yang ingin melebarkan sayapnya.
Universitas Pertahanan Republik Indonesia mengadakan Focus Group Discussion yang mengambil tema “Russia in the Indo-Pacific” pada Rabu 10 Desember 2025. Diskusi yang diadakan Fakultas Strategi Pertahanan ini menganalisa pendekatan yang dilakukan oleh Rusia di kawasan Indo-Pasifik untuk mendapatkan pengaruh.
Dikutip dari situs fsp.idu.ac.id, ini merupakan wujud kolaborasi akademik strategis antara FSP Unhan RI dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), serta menghadirkan pakar kebijakan dan akademisi dari empat negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Australia. Turut hadir dalam acara tersebut, Wakil Rektor III Unhan RI Mayjen TNI Dr. Totok Iman Santoso, S.I.P., S.Sos., mewakili Rektor Unhan RI Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. Anton Nugroho, M.M.D.S., M.A.
Dekan Fakultas Strategi Pertahanan UNHAN RI Mayor Jenderal Dr. Oktaheroe Ramsi, S.IP., M.Sc, mengatakan, jika mengamati mosaik reaksi yang kompleks di antara negara-negara Indo-Pasifik, terdapat perbedaan signifikan dalam persepsi ancaman, respons kebijakan, dan strategi keterlibatan. Beberapa negara memandang Rusia sebagai penyeimbang yang diperlukan dalam ruang strategis yang terkikis, mitra vital untuk energi dan pertahanan.
“Beberapa negara memandang aktivitas Rusia dengan hati-hati, melihatnya melalui lensa kewajiban aliansi atau ancaman keamanan. Perbedaan ini bukanlah hal yang sembarangan. Perbedaan ini berakar kuat dalam tradisi sejarah, pertimbangan politik domestik, dan kepentingan nasional yang berbeda,” sebut Mayjen Oktaheroe, dikutip dari diskusi yang diselenggarakan secara online itu.
Menurut Mayjen Oktaheroe, setiap pihak perlu memahami mengapa Jakarta, Kuala Lumpur, Manila, dan Canberra merespons Moskow secara berbeda bukanlah sekadar latihan akademis, tetapi juga kebutuhan strategis untuk menjaga stabilitas regional. Hal tersebut tentunya perlu pula implikasi strategisnya bagi stabilitas regional.
Sementara Dekan Universitas Airlangga M.Muttaqien PhD menambahkan, Rusia telah melakukan diplomasi campuran dalam kerja sama multilateral, seperti mitra dialog ASEAN, kerja sama ekonomi, terutama di bidang energi, minyak, dan gas, kemudian pangan dan pertanian, teknologi, dan hubungan keamanan, terutama penjualan senjata dan latihan militer.
Di negara-negara tertentu, seperti Myanmar, dan kemudian Vietnam, Rusia memiliki pengaruh yang besar. Dalam situasi semacam itu, bagaimana Rusia terlibat di Indo-Pasifik, menyeimbangkan Amerika Serikat dan sekutunya, bersama-sama dengan Tiongkok, bagaimana menyeimbangkan kekuatan-kekuatan utama lainnya.
Hubungan Indonesia-Rusia
Hubungan antara Indonesia dengan Rusia juga sangat penting. Terlebih, Presiden Prabowo Subianto saat sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia dan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin. Ini adalah pertemuan ketiga yang dilakukan oleh Prabowo bersama Putin.
Dosen Hubungan Internasional di Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra dalam analisanya menyebutkan, Selama Perang Dingin, Soviet memainkan peran penting bagi Indonesia, sehingga hubungan kedua negara selalu dibingkai oleh dimensi historis yang kuat. Selain itu, pendalaman hubungan Indonesia–Rusia saat ini tidak hanya terjadi pada aspek material—seperti pertahanan, ekonomi, dan kerja sama strategis—tetapi juga pada ranah budaya, pendidikan, dan sosial.
“Namun, pada kondisi sekarang, Rusia sebenarnya lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya.
Indonesia memiliki banyak alternatif mitra yang dapat menawarkan manfaat ekonomi, pertahanan, maupun sosial-budaya,” ujar Radityo.
“Proses panjang Indonesia untuk memutuskan bergabung dengan BRICS menjadi contoh bahwa posisi tawar Indonesia lebih kuat,” tegasnya.
Ke depan menurut Radityo, hubungan Indonesia–Rusia di era Presiden Prabowo juga akan sangat dipengaruhi oleh faktor kepribadian, khususnya dinamika hubungan antara Prabowo dan Putin, termasuk kesamaan gaya kepemimpinan mereka. Secara historis, citra Rusia di Indonesia masih ditopang oleh nostalgia era Soviet dan sentimen anti-Barat yang terbentuk sejak awal kemerdekaan.
Radityo menambahkan Sekarang, pengaruh Rusia di Indonesia sangat kuat. Diplomasi publik Rusia melalui Russian House, operasi pengaruh di Indonesia sangat efektif. Selain itu Kedutaan Besar Rusia sangat aktif di Indonesia. Jumlah kunjungan ke Indonesia juga meningkat. Kerja sama pendidikan dengan masyarakat sipil juga semakin mendalam.
Malaysia-Rusia
Sementara peneliti Verve Research Munira Mustafa menilai penguatan hubungan Malaysia–Rusia sebagai bagian dari tradisi otonomi strategis Kuala Lumpur. Meski The International Civil Aviation Organization (ICAO) menetapkan Rusia bertanggung jawab atas jatuhnya MH-17 yang menewaskan 43 warga Malaysia, ia mencatat bahwa Perdana Menteri Anwar Ibrahim lebih mengutamakan kepentingan strategis ketimbang tekanan publik soal akuntabilitas.
“Kerja sama pertahanan menjadi pendorong utama kedekatan kedua negara. Malaysia masih menjadi pembeli senjata terbesar ketiga Rusia di Asia Tenggara, sementara Raja Sultan Ibrahim mendukung penggunaan alutsista Rusia karena biaya lebih murah, minim syarat politik, dan infrastruktur yang sudah tersedia,” sebut Munira.
Namun, Munira mengingatkan bahwa sanksi Barat dapat menghambat kemampuan Rusia memberikan dukungan jangka panjang.
Ia juga mencatat meningkatnya simpati publik Malaysia terhadap Rusia akibat persepsi standar ganda Barat dalam isu Israel–Palestina—mendorong dukungan domestik untuk hubungan lebih erat dengan Moskow dan ketertarikan pada BRICS. Di sisi lain, beasiswa Rusia bagi sekitar 750 mahasiswa Malaysia memperkuat jaringan soft power yang membentuk pandangan elit.
Langkah Selanjutnya yang menurut Munira bisa diambil oleh Malaysia antara lain:
- PM Anwar: Mengangkat isu akuntabilitas MH-17 langsung kepada Presiden Putin dan mengumumkan perkembangan soal kompensasi.
- Kemenhan: Menilai keberlanjutan penggunaan sistem pertahanan Rusia di tengah sanksi Barat.
- Tim pengadaan: Menghitung biaya transisi bila Malaysia beralih ke sistem pertahanan Barat.
- Pemerintah: Memantau dampak soft power Rusia terhadap persepsi dan kebijakan elit Malaysia.
Singkatnya menurut Munira, Malaysia menghadapi dilema strategis: di satu sisi, negara ini ingin mempertahankan kerja sama pertahanan dengan Rusia karena kebutuhan operasional militer, tetapi di sisi lain, terhambat oleh rezim sanksi global. Namun, faktor-faktor politik internasional, khususnya kekecewaan terhadap Barat atas isu Palestina dan peluang ekonomi melalui BRICS, berarti bahwa Malaysia terus memandang Rusia sebagai mitra penting dalam menyeimbangkan kekuatan di ruang strategis yang semakin ramai.
Filipina-Rusia
Sementara itu, Philip Alegre, pengamat dari Pacific Forum memaparkan perspektif Filipina terhadap Rusia melalui konteks ketegangan di Laut China Selatan, dimulai dengan sejarah hubungan Filipina–Rusia dan menyoroti era Duterte sebagai periode paling hangat dalam hubungan kedua negara. Selama pemerintahan Duterte, dianggap mungkin merupakan periode emas dalam hubungan Filipina-Rusia.
Sekarang, interaksi Manila dengan Rusia dilakukan melalui platform multilateral, bahkan hingga saat ini, seperti APEC-ARF, yaitu Forum Regional ASEAN, dan ADMM-PLUS, atau Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN, di mana dapat berinteraksi dengan Moskow dengan biaya politik yang rendah.
Alegre memaparkan pandangan publik Filipina terhadap Rusia berdasarkan data jajak pendapat Social Weather Stations (SWS) dari 1995 hingga Juni 2025. Hasil terbaru menunjukkan tingkat kepercayaan bersih terhadap Rusia berada di kategori netral, yakni minus dua. Secara historis, sentimen publik hampir selalu negatif—bermula dari minus 36 pada 1995—dan hanya tiga kali berubah positif, yakni pada 2016–2017, bertepatan dengan tahun pertama pemerintahan Duterte saat harapan publik masih tinggi.
Namun lonjakan itu tidak bertahan lama, dan kepercayaan kembali turun ke zona negatif. Sebagai pembanding, tingkat kepercayaan Filipina terhadap Amerika Serikat secara konsisten berada di wilayah positif, dari kategori sedang hingga sangat baik, menggambarkan hubungan yang jauh lebih kuat di mata publik.
Pada dasarnya menurut Alegre, posisi Rusia dalam perhitungan keamanan Filipina bersifat ambivalen. Meskipun Moskow ingin hadir sebagai mitra alternatif, realitas geopolitik di bawah Marcos Jr. menempatkan Washington kembali sebagai penjamin keamanan utama. Hubungan dengan Rusia dipertahankan secara diplomatik, tetapi substansinya sangat terbatas dan "disandera" oleh faktor aliansi AS dan ancaman dari Tiongkok.
Australia-Rusia
Dr. Matthew Sussex dari The Australian National University menegaskan, bagi Australia, ancaman utama di Indo-Pasifik tetaplah Tiongkok, sementara Rusia dipandang sebagai perusak yang relevansinya kecil tetapi tetap perlu diawasi karena keselarasan dengan rezim otoriter lainnya.
“Di mata publik dan elit politik Australia, citra Presiden Vladimir Putin sangat buruk, bahkan disamakan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Putin dipandang sebagai pemimpin otoriter yang irasional dan ancaman bagi tatanan global berbasis aturan,” ujar Dr Sussex.
Sedangkan Rusia secara resmi mengkategorikan Australia sebagai "Negara Tidak Ramah." Ini adalah respons Moskow terhadap sanksi agresif Canberra dan dukungan militer untuk Ukraina. Hubungan diplomatik sangat dingin dan terbatas hanya pada fungsi-fungsi penting.
Diperkirakan hubungan Australia-Rusia diprediksi akan tetap stagnan atau bahkan memburuk selama konflik geopolitik global seperti di Ukraina dan persaingan antara Barat dan Timur terus berlanjut.
Dalam kaitan hubungan terkait Rusia, Indonesia mempertahankan strategi penyeimbang kekuatan besar. Tujuannya jelas, untuk mengamankan “kursi di meja perundingan” dan mempertahankan status yang setara dengan kekuatan lain. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa pun yang terjadi di AS berdampak pada Indonesia.
“Respons regional terhadap Rusia ditentukan secara struktural, bukan didorong oleh ideologi. Negara-negara di Indo-Pasifik memprioritaskan peran negara masing-masing, menyeimbangkan kepentingan nasional dengan dinamika hubungan AS-Tiongkok-Rusia yang terus berubah,” sebut dosen Universitas Pertahanan RI, Fauzia G Cempaka Timur.
Sedangkan menurut Radityo Dharmaputra, Indonesia melihat Rusia sebagai negara Adi Daya yang relatif ramah terhadap kepentingan Jakarta dan sering kali memanfaatkan Negeri Beruang Merah untuk menyeimbangkan tekanan AS atau Tiongkok. Bahkan jika pemerintahan Trump bersikap lebih ramah terhadap Rusia, perhitungan Indonesia tetap berfokus pada mempertahankan sikap penyeimbang non-bloknya daripada bergeser lebih dekat ke Moskow secara ideologis.