Gejolak Ekonomi Picu Depresi, Apa Solusinya?

Presenter Metro TV Naila Husna. Foto: Dok Metro TV

Gejolak Ekonomi Picu Depresi, Apa Solusinya?

Naila Husna • 21 April 2025 11:38

Ketidakpastian ekonomi global melanda berbagai negara. Inflasi tinggi, ketegangan geopolitik, hingga perubahan kebijakan moneter menjadi tantangan serius saat ini.

Global Risk Report 2025 yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) mencatat ada tiga risiko global yang tengah dan bakal dihadapi dalam dua hingga sepuluh tahun ke depan. Teratas adalah konflik bersenjata berbasis negara. Pada urutan kedua dan ketiga meliputi cuaca ekstrem dan konflik geoekonomi.
 
WEF dalam Chief Economists Outlook 2025 juga menyoroti situasi harap-harap cemas 900 responden yang merupakan kepala ekonom lembaga dan perusahaan besar di dunia. Sebanyak 56 persen memperkirakan ekonomi global masih tumbuh lambat pada 2025. Hanya 17 persen yang memperkirakan perbaikan. Hal ini menunjukkan harapan untuk pertumbuhan ekonomi global tidak terlalu tinggi. Pertumbuhannya bakal bergantung pada perbedaan pertumbuhan ekonomi setiap negara atau kawasan.
 

Berpengaruh pada gangguan mental

Kondisi ekonomi yang tidak stabil serta situasi krisis ekonomi seringkali dihubungkan dengan gangguan kesehatan mental. Ketika kondisi ekonomi negara atau individu memburuk, dampaknya tidak hanya dirasakan dalam bentuk kerugian finansial, tetapi juga mempengaruhi kesejahteraan psikologis.
 
Tingginya angka pengangguran, kebangkrutan, dan ketidakpastian finansial dapat memicu stres, kecemasan, dan depresi. Depresi merupakan salah satu gangguan mental utama yang menjadi penyumbang terbesar disabilitas global. Gejalanya seperti penurunan mood, kehilangan minat, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, serta penurunan energi dan konsentrasi.
 
Berdasarkan data World Federation for Mental Health (WFMH), satu dari lima orang di dunia mengalami gangguan kesehatan mental. Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental mencapai 6,1%, namun hanya satu dari sebelas penderita yang mendapatkan perawatan.
 
Asisten Guru Besar The Ohio State University, Joyce Lee dalam jurnal Child and Family Social Work mengungkapkan ketidakstabilan ekonomi pada masa pandemi covid-19 berdampak pada tingkat gejala depresi yang lebih tinggi pada orang tua dan dapat berlanjut menjadi kualitas hubungan yang lebih buruk bagi pasangannya. Hal ini pun berkaitan dengan pola asuh yang lebih keras serta meningkatnya perilaku internalisasi pada anak-anak mereka. Penelitian ini juga mengungkap kesulitan ekonomi orang tua yang disebabkan oleh pandemi mempunyai efek limpahan negatif terhadap kesehatan mental anak mereka.
 

Depresi ekonomi

Berbicara mengenai ketidakstabilan ekonomi yang terjadi saat ini dan kaitannya dengan depresi, ada pula teori yang berkaitan dengan depresi ekonomi. Amerika Serikat sebenarnya pernah mengalami keterpurukan paling dalam, yakni depresi ekonomi atau the great depression pada tahun 1929 hingga 1941. Jika ingin membandingkan dengan fenomena seperti krisis ekonomi atau resesi, depresi ekonomi adalah lantai paling dasar suatu negara bisa jatuh.
 
Pakar ekonomi sekaligus aktivis kesehatan dari Amerika Serikat, Irving Fisher, menyatakan depresi ekonomi adalah jangka waktu ketika kepercayaan dan keyakinan pada sistem ekonomi sangat rendah dan menjalar ke tingkat konsumsi dan investasi yang rendah. Ada sejumlah faktor yang bisa menyebabkan depresi ekonomi, di antaranya berkaitan dengan perang atau ketidakstabilan politik. Faktor itu dapat mengganggu perdagangan internasional serta mengurangi investasi asing, sehingga berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
 

Kuncinya resiliensi

Pada kasus penderitaan akibat kemiskinan atau kesulitan ekonomi, individu dapat menghadapi berbagai pengalaman. Salah satunya melalui unsur psikologis yang dikenal dengan resiliensi. Resiliensi mempunyai pengertian sebagai suatu kemampuan untuk bangkit kembali (to bounce back) dari pengalaman emosi negatif. Resiliensi juga berarti kemampuan untuk beradaptasi secara fleksibel terhadap tuntutan yang terus berubah dari pengalaman stres (Tugade & Fredrickson, 2004). Seseorang yang memiliki kemampuan resiliensi memiliki penerimaan diri yang mendalam tentang diri sendiri maupun situasi personal secara positif dan mampu memaknai dengan baik peristiwa hidupnya.

Resiliensi ditandai dengan beberapa hal. Pertama, kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup. Kedua, kemampuan belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu kesuksesan. Ketiga, kemampuan beradaptasi dengan segala keadaan. Sejumlah kemampuan itu mampu dikembangkan walau berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal (Niaz, 2006).
 
Individu dengan resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik pula. Mampu mengontrol diri dan mampu mengelola stres dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stres. Resiliensi memungkinkan seseorang untuk tetap fokus pada persoalan yang sesungguhnya dan tidak menyimpang ke dalam perasaan serta pola pikir yang negatif. Hal in tentu saja bisa mengatasi risiko depresi. Resiliensi menjadikan seseorang mampu merespons sesuatu secara sehat dan produktif saat berhadapan dengan kesengsaraan, ketidakstabilan, atau trauma. (Reivich & Shatté, 2002).

Dalam konteks masa kini, dikaitkan dengan ketidakstabilan ekonomi dan aspek psikologis, penting untuk memahami bagaimana resiliensi individu serta resiliensi ekonomi menjadi kunci dalam menghadapi tantangan global yang kompleks. Kenyataannya, tidak semua individu memiliki kemampuan resiliensi. Tidak sedikit yang gagal untuk bertahan di tengah kesulitan ekonomi ataupun tekanan hidup.
 
Tantangan global yang terus berubah seperti krisis kesehatan dan ketidakpastian geopolitik, telah menempatkan resiliensi ekonomi di pusat perhatian. Resiliensi ekonomi merujuk pada kemampuan suatu sistem ekonomi untuk bertahan, pulih, dan tumbuh dalam menghadapi berbagai tantangan eksternal yang muncul.
 
Kunci utama dari resiliensi ekonomi adalah adaptabilitas. Sistem ekonomi yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan eksternal, termasuk perubahan teknologi, pasar global, dan situasi politik.
 
Jika seorang individu memiliki resiliensi yang tinggi serta ketahanan mental untuk bisa bangkit kembali, maka kondisi ketidakstabilan ekonomi dapat ditangani secara kokoh. Bahkan bisa menjadikan kondisi yang sebelumnya terpuruk menjadi sarana untuk melangkah lebih baik lagi. Don’t give up and be resilient![]

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Wandi Yusuf)