Asap dan api membumbung selama pertempuran antara milisi Islam dan pasukan Libya. (Maher Alawami/EPA)
Washington DC: Pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump disebut tengah menggarap rencana untuk memindahkan hingga satu juta warga Palestina dari Jalur Gaza ke Libya. Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh NBC News dalam laporan eksklusif yang tayang pada Sabtu, 17 Mei 2025.
Mengutip laporan tersebut, lima sumber yang mengetahui langsung pembahasan internal menyebut bahwa rencana ini sedang dibahas cukup serius dan bahkan telah dikomunikasikan dengan pihak kepemimpinan Libya.
"Rencana ini cukup serius sehingga telah didiskusikan dengan pimpinan Libya," ujar dua sumber langsung dan seorang mantan pejabat AS kepada NBC News, dikutip pada Sabtu, 17 Mei 2025.
Sebagai imbalan atas penerimaan warga Palestina, AS disebut mempertimbangkan untuk mencairkan kembali dana bernilai miliaran dolar yang telah dibekukan lebih dari satu dekade lalu kepada Libya. Tiga sumber mengatakan Israel juga telah diinformasikan mengenai diskusi tersebut. Meski demikian, belum ada kesepakatan final yang tercapai.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyanggah laporan tersebut setelah artikel NBC diterbitkan.
"Laporan-laporan ini tidak benar. Situasi di lapangan tidak memungkinkan untuk rencana seperti itu. Rencana seperti itu tidak pernah dibahas dan tidak masuk akal," kata juru bicara tersebut, dikutip NBC News.
Pejabat senior Hamas, Basem Naim, juga mengkritik keras usulan tersebut.
"Warga Palestina sangat tertanam di tanah air mereka, sangat berkomitmen pada tanah air mereka dan mereka siap bertarung sampai akhir dan mengorbankan apa pun untuk membela tanah mereka, keluarga mereka, dan masa depan anak-anak mereka," ujar Naim. Ia menegaskan bahwa hanya rakyat Palestina yang berhak memutuskan nasib mereka sendiri, termasuk warga Gaza.
Trump sebelumnya telah menyampaikan visinya untuk Gaza pasca-perang. Ia menyatakan bahwa AS akan mengambil alih wilayah tersebut dan membangunnya kembali sebagai "Riviera Timur Tengah."
"Kami akan mengambil alih wilayah itu, mengembangkannya dan menciptakan ribuan lapangan pekerjaan, dan itu akan menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan oleh seluruh Timur Tengah," ujar Trump pada bulan Februari lalu.
Trump juga menegaskan bahwa pemukiman kembali warga Palestina merupakan syarat utama agar rencananya terlaksana.
"Kamu tidak bisa tinggal di Gaza sekarang, dan saya pikir kita butuh lokasi lain. Saya pikir itu harus menjadi lokasi yang bisa membuat orang senang," ujar Trump saat pertemuan di Gedung Putih bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
"Saya tidak berpikir orang seharusnya kembali ke Gaza," imbuhnya.
Rencana ini menuai penolakan luas, termasuk dari sekutu Arab AS dan anggota parlemen AS dari dua kubu.
"Kita lihat saja apa kata dunia Arab, tapi itu akan bermasalah di banyak sekali tingkatan," ujar Senator Lindsey Graham, yang dikenal sebagai sekutu Trump, mengutip NBC News
Namun, pertanyaan besar tetap menyelimuti bagaimana rencana ini bisa diwujudkan. Belum ada rincian tentang di mana tepatnya para warga Palestina akan ditempatkan di Libya. Opsi transportasi dari Gaza ke Libya masih dibahas, baik melalui udara, laut, maupun darat.
Salah satu sumber menyebut bahwa bisa dibutuhkan lebih dari 1.100 penerbangan Airbus A380 kapasitas penuh untuk memindahkan 1 juta orang. Karena tidak ada bandara di Gaza, warga harus terlebih dahulu dibawa ke bandara terdekat, seperti di Kairo, Mesir.
Perjalanan darat dari Gaza ke Benghazi juga menempuh jarak sekitar 1.300 mil atau lebih dari 2.000 kilometer. Alternatif lainnya adalah dengan kapal feri besar, seperti yang pernah digunakan AS untuk mengevakuasi warga sipil saat perang saudara Libya pada 2011. Namun, semua modal transportasi itu dinilai mahal, rumit, dan memerlukan waktu yang lama.
Di sisi lain, kondisi internal Libya sangat tidak stabil. Negara itu masih terpecah antara dua pemerintahan, masing-masing dipimpin Abdul Hamid Dbeibah di barat dan Khalifa Haftar di timur, yang saling bersaing secara militer. AS sendiri masih mengeluarkan peringatan perjalanan ke Libya karena alasan konflik, terorisme, ranjau darat, dan penculikan.
Beberapa pejabat AS bahkan telah mempertimbangkan Suriah sebagai lokasi alternatif relokasi. Suriah saat ini dipimpin Ahmad al-Sharaa setelah tergulingnya Bashar al-Assad pada Desember lalu. Trump telah mengumumkan pencabutan sanksi terhadap Suriah dan bertemu langsung dengan al-Sharaa pada Rabu, 14 Mei 2025, dalam langkah awal pemulihan hubungan diplomatik.