Mandatori B40 Molor ke Maret 2025

Ilustrasi B40. Foto: dok Aprobi.

Mandatori B40 Molor ke Maret 2025

Naufal Zuhdi • 19 February 2025 09:02

Jakarta: Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan mandatori B40 ke seluruh sektor diundur, dari semula Januari 2025 menjadi Maret 2025.
 
Ia mengatakan pemerintah tengah mereviu kesiapan penerapan B40 selama tiga bulan. Molornya implementasi percampuran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen karena terhadang berbagai kendala.
 
"Saat ini kita sedang menganalisa lagi karena ada keputusan pemerintah untuk revieu program B40 ini sepanjang tiga bulan. Jadi nanti Maret kita akan melihat bagaimana progres dari B40," ungkap Eniya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR di Kompleks Senayan, dikutip Rabu, 19 Februari 2025.
 
Ia menjelaskan kendala tersebut karena masalah keterbatasan dana insentif biodiesel yang terbatas untuk menjalankan mandatori B40. Kata Eniya, selisih harga sawit yang menjadi bahan baku biodiesel dan harga minyak solar cukup besar.
 
Hal ini dapat mengakibatkan konsumen B40 beralih ke Solar CN51. Sehingga, program B40 dikhawatirkan tidak berjalan maksimal dan dapat meningkatkan impor solar.
 
"Tantangan secara umum itu kita memiliki keterbatasan dana insentif tadi yang hanya ditanggung separuh oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," ucapnya.
 

Baca juga: Molor, Biodiesel B40 Diharap Segera Meluncur Maret 2025


(Biodiesel B40. Foto: dok Kementerian ESDM)
 

Keterbatasan produksi hingga tingginya biaya produksi

 
Eniya menambah kendala lainnya keterbatasan produksi dan tingginya biaya produksi diesel hijau atau HVO untuk kandungan B40, lalu kerusakan atau kendala operasional di pabrik badan usaha (BU) bahan bakar nabati (BBN).
 
Sementara, kuota biodiesel pada 2025 ditargetkan menjadi 15,6 juta kilo liter (kl). Dari kuota itu, bakal dialokasikan 7,55 juta KL untuk kewajiban layanan public atau public service obligation (PSO) dan sisanya untuk non PSO.
 
"Memang ada keterbatasan kemampuan produksi. Kita sudah hitung ada 28 perusahaan atau BU BBN yang kapasitas pabriknya sudah penuh," jelas dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)