Podium Media Indonesia: Di Kaki Silfester Hukum Bersujud

Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa/Media Indonesia/Ebet.

Podium Media Indonesia: Di Kaki Silfester Hukum Bersujud

Media Indonesia • 11 September 2025 06:50

DULU, sekitar 15 tahun lalu, kewibawaan hukum negeri ini runtuh akibat Gayus Tambunan. Hukum tak punya daya, keperkasaannya sirna, di hadapan pegawai pajak itu. Di rubrik Editorial edisi 6 Januari 2011, harian ini pun membuat judul Kepada Gayus Hukum Bersujud.

Gayus membuat heboh. Dia bukan pejabat. Pangkatnya baru penata muda, golongan IIIA. Namun, jangan tanya apa yang sudah dilakukannya. Dia ternyata bagian penting dari mafia pajak. Dari laku jahatnya itu, dia didakwa korupsi senilai Rp102 miliar.

Total ada empat kasus yang menjerat Gayus, tiga terkait dengan korupsi dan satu lagi soal pemalsuan paspor. Singkat cerita, dia total harus menjalani 30 tahun hukuman penjara. Publik marah. Geram. Lagi-lagi aparat yang semestinya mengamankan justru menggasak uang rakyat.

Itu belum cukup. Rakyat makin marah, kian geram, lantaran Gayus gampang betul menjadikan hukum sebagai mainan. Tentu dia tak sendiri. Ada persekongkolan, ada kongkalikong, dengan penegak hukum. Tidak cuma sekali, dua kali, tapi beberapa kali dia melenggang dari bui. Bolehlah kita sedikit mengenang masa kelam itu.
 

Baca: Pemerintah Gandeng Organisasi Masyarakat Sipil Rancang Aturan Perlindungan Pekerja Migran

Pada Juli 2010, Gayus yang baru empat bulan mendekam di Rutan Mako Brimob kabur selama tiga hari. Tentu bukan karena sakti mandraguna. Bukan karena punya ajian belut putih. Tak perlu pula menjebol jeruji besi. Cukup menyuap Kepala Rutan Komisaris Iwan Siswanto Rp10 juta, bisa jalan-jalanlah dia.

Sebulan kemudian, kejadian itu terulang. Kali ini, dia keluar dari rutan 19 hari. Untuk membeli kebebasannya, dia menyuap Rp70 juta. Durasi Gayus menikmati dunia luar terus bertambah. Pada September, dia keluar dari penjara 21 hari dengan uang jasa Rp70 juta. Gilanya lagi, dia pelesir ke Makau dan Kuala Lumpur dengan identitas palsu.

Selama Oktober, Gayus malah cuma sehari mendekam di rutan. Selebihnya keluyuran dan hadir di persidangan. Sebagai uang preman, dia mengucurkan Rp114 juta.

Namun, sepandai-pandai tupai melompat suatu saat jatuh juga. Serapi apa pun Gayus dan aparat menjalin perselingkuhan jahat, pasti terbongkar jua. Pada November 2010, Gayus tertangkap oleh kamera wartawan tengah duduk di bangku penonton turnamen tenis internasional di Denpasar, Bali. Topi, kacamata, dan rambut palsu gagal menutupi identitasnya.

Republik gaduh. Pejabat kalang kabut. Rakyat emosi tingkat tinggi. Saat itulah hukum benar-benar bangkrut. Ambruk karena penegaknya dapat dibeli. Hukum bersimpuh di kaki penjahat yang punya uang. Kiranya hanya sedikit negara yang hukumnya sedemikian bobrok.

Tak cuma Gayus yang bisa memaksa hukum merunduk. Sebelum dan setelahnya juga ada. Belakangan, kejadian serupa terulang. Meski beda cerita, konklusinya sama, yakni betapa hukum dibuat tak berdaya ketika menghadapi orang-orang tak biasa. Kalau Gayus bisa membeli hukum karena uangnya bejibun, kali ini hukum kehilangan wibawa sebab pengaruh kuasa. Pemainnya ialah Silfester Matutina dan aparat penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan.

Kalau Gayus leluasa keluar dari penjara, Silfester malah belum juga dipenjara. Sudah enam tahun putusan inkrah memvonisnya 1,5 tahun pidana kurungan dalam kasus fitnah dan pencemaran nama baik eks Wapres Jusuf Kalla. Namun, selama itu pula dia tetap menikmati kebebasan. Tangan hukum tak kuasa menyentuhnya. Jaksa eksekutor dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan seolah melunglaikan diri dengan beragam alibi.

Ada alasan, Silfester tak langsung dieksekusi setelah putusan inkrah lantaran pandemi covid-19. Alasan itu kiranya tak bernilai. Nol. Bukankah putusan inkrah terbit pada Mei 2019 sementara pemerintah menetapkan wabah covid-19 sebagai situasi darurat pada April 2020? Ada waktu setahun.

Mantan Kajari Jaksel Anang Supriatna beralibi dirinya telah mengeluarkan surat perintah eksekusi Silfester setelah putusan inkrah, tapi yang bersangkutan sempat hilang. Alibi itu pun sulit diterima. Sesulit itukah menangkap Silfester? Toh dia tak kabur ke luar negeri.

Alasan Anang bahwa eksekusi tak terlaksana karena kemudian terjadi covid-19 kiranya juga zonk. Okelah kalau alasan itu benar. Pertanyaannya, kenapa setelah covid-19 mereda pada 2021 dan dinyatakan berakhir pada Juni 2023, Silfester tak juga dieksekusi? Masih hilangkah dia? Mahacerdikkah dia hingga eksekutor tak mampu melacaknya? Bukankah Silfester kerap muncul di ruang publik sebagai diehard Jokowi dan bagian dari tim pemenangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024?

Pun ketika ada fakta yang diungkap Roy Suryo pada akhir Juli 2025 bahwa Silfester ternyata berstatus terpidana setelah perkaranya lama terlupakan atau sengaja dibuat lupa. Faktanya, kejaksaan tak melakukan apa-apa meski hampir tiap hari Silfester nongol di televisi.

Realitasnya, Silfester belum dieksekusi hingga kini. Yang terjadi, Silfester tetap menjabat komisaris BUMN bergaji tinggi. Sama dengan sesama loyalis Jokowi, Ade Armando, yang terbelit oleh kasus penodaan agama.

Jika begitu, alasan apa lagi yang hendak engkau sampaikan untuk menepis penilaian bahwa hukum telah dipaksa bersujud di kaki Silfester? Kepada Kajari Jaksel kita bertanya, tak terusik barang sedikit sajakah integritas dan nurani Anda karena eksekusi tak kunjung terealisasi?

Kepada Sanitiar Burhanuddin, masih banggakah Anda sebagai Jaksa Agung ketika penegakan hukum oleh jaksa terkesan semaunya? Atau merasa cukupkah Anda memberikan instruksi ke anak buah untuk segera mencari dan mengeksekusi Silfester, soal pelaksanaan urusan nanti?

Terakhir, kepada Presiden Prabowo Subianto, masih percayakah Bapak kepada anak buah yang untuk mengeksekusi terpidana Silfester saja tak berkutik? Ini bukan soal Silfester pribadi. Ini urusan kewibawaan hukum, masalah kesetaraan dan keadilan, yang katanya hendak Bapak tegakkan setegak-tegaknya.

(Dewan Redaksi Media Group Jaka Budi Santosa)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)