5 November 2025 22:49
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubernur Riau, Abdul Wahid, yang diduga menggunakan modus "jatah preman", menjadi sorotan. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, menyebut praktik semacam ini sudah menjadi rahasia umum akibat tingginya biaya politik.
Abdul Wahid diketahui meminta Rp7 miliar dari keseluruhan uang yang didapat Pemprov Riau. Permintaan uang disebut ‘jatah preman’ dan penyerahan uang disebut ‘7 batang’. Ia bahkan menggunakan ancaman akan mencopot pejabat yang menolak perintahnya.
Boyamin Saiman meyakini bahwa Gubernur Abdul Wahid adalah aktor utama dalam kasus ini.
"Sudah pasti. Karena pusat kekuasaan kan ada di dia. Kalau nanti ada pemborong yang sudah bayar dan kemudian tidak dapat (menang) tender misalnya, ya dia bisa nyopot orangnya (pejabatnya)," jelas Boyamin.
Boyamin menambahkan, modus kepala daerah yang meminta jatah di muka seperti yang diduga dilakukan Abdul Wahid sering terjadi karena mereka takut ditipu di kemudian hari.
"Si kepala daerahnya itu sudah main awal. (Dia) sudah tahu, kalau tidak minta di awal, nanti ditipu anak buah atau ditipu pemborong," tambahnya.
Boyamin Saiman mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak berhenti hanya pada Abdul Wahid. Ia menilai kasus ini adalah pintu masuk untuk membongkar korupsi yang lebih besar dan harus dikembangkan untuk menelusuri aliran dana lainnya.
"Wajib itu dikembangkan. Apa saja yang sudah dioprek (diakali), dan kemarin pada saat pencalonan, apakah dia juga setor kepada partainya atau setor kepada siapa, harus dicari sekalian," tegas Boyamin.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus pemerasan. Abdul Wahid meminta anggaran Pemerintah Provinsi Riau dipotong untuknya sendiri.
KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini. Mereka yakni, Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam.