Bedah Editorial MI: Alarm Kotak Kosong

3 December 2024 09:19

Dalam Pilkada Serentak 2024 yang baru saja menyelesaikan tahap pemungutan suara, lakon soal kotak kosong menjadi fenomena tersendiri. Kotak kosong tidak sekadar ada, tapi benar-benar nyaring bunyinya. 

Pertama, ia nyaring dalam hal jumlah. Di antara 545 daerah yang menggelar pilkada pada tahun ini, terdapat 37 pasangan calon tunggal yang melawan kotak kosong. Jumlah itu merupakan yang tertinggi sejak 2015, yakni setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015, yang menetapkan pilkada tetap dilaksanakan meski hanya ada satu pasangan calon. Sebagai alternatif bagi pemilih disediakan kotak kosong sebagai pilihan.

Ia juga nyaring dalam hasil. Ada dua daerah, yaitu Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang, keduanya di Provinsi Bangka Belitung, yang dalam pilkada tahun ini menghasilkan kotak kosong sebagai pemenang. Bahkan dari penghitungan riil KPU setempat, kotak kosong di kedua daerah itu unggul cukup telak atas lawannya.
 

Baca juga: Pilkada 2024 Disebut Masih Dipenuhi Berbagai Kecurangan

Berdasarkan catatan yang diperoleh hingga Kamis (28/11/2024), pada Pilkada Kabupaten Bangka, paslon petahana Mulkan-Ramadian hanya bisa meraup 50.443 suara atau 42,75?ri 455 TPS atau kalah dari kotak kosong yang mengumpulkan 67.546 suara atau 57,25%. 

Kondisi serupa terjadi pada Pilkada Kota Pangkalpinang, paslon Aklil-Masagus Hakim hanya meraih 35.177 suara atau 42,02?ri jumlah 311 TPS, sedangkan kotak kosong menang dengan 48.528 suara atau 57,98%. Hasil rekapitulasi tingkat kecamatan yang digelar kemarin kotak kosong juga berhasil mengungguli pasangan calon tunggal tersebut.

Fenomena kemenangan kotak kosong ini jelas mesti dipandang serius, baik oleh penyelenggara pemilu maupun partai-partai politik. Ini sentilan keras bagi mereka. Kemenangan kotak kosong bisa dimaknai sebagai ekspresi perlawanan rakyat terhadap oligarki parpol yang tidak membaca arus keinginan publik. 

Memilih kotak kosong adalah cara rakyat menyampaikan penolakan terhadap kandidat yang diajukan parpol karena tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Harus jujur dikatakan, fenomena ini merupakan alarm bagi parpol agar tidak sembrono dalam mengusung pasangan calon pada kontestasi pilkada.

Selama ini, sudah menjadi anggapan umum bahwa parpol-parpol hanya mengusulkan calon kepala daerah demi kepentingan politik. Bukan atas dasar suara para pemilih. Dengan dalih koalisi dan demi kepentingan bersama, mereka mengabaikan calon-calon potensial yang dikehendaki masyarakat setempat.

Bagi penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), fenomena kotak kosong dalam pilkada kali ini juga menjadi peringatan agar segera memperbaiki sistem dan aturan pilkada untuk mencegah maraknya calon tunggal. Sungguh tidak elok bila pilkada hanya menjadi alat bagi segelintir kelompok untuk melanggengkan kekuasaan dengan dalih koalisi.

KPU bersama dengan pemerintah dan DPR harus merumuskan aturan untuk agar tidak ada lagi dukungan partai politik yang terkonsentrasi pada satu paslon di pilkada. Ambang batas atau threshold pengajuan calon kepala daerah memang sudah diturunkan sebagai hasil putusan MK No 60/PUU-XXII/2024. Namun itu tidak cukup, mesti pula dibuka ruang yang lebih besar bagi pencalonan perseorangan.
 
Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah sejatinya adalah mencari calon pemimpin terbaik melalui kompetisi yang jujur dan adil. Itu tidak akan terjadi jika rakyat hanya disediakan calon tunggal dan kotak kosong. Semakin sedikit alternatif, semakin sulit untuk mendapatkan pemimpin terbaik.

Kotak kosong sejatinya berbahaya bagi kelanjutan demokrasi di Indonesia dalam jangka panjang. Dengan dampaknya yang semakin menepikan pilihan alternatif pemimpin yang dapat dipilih rakyat, kotak kosong pelan-pelan akan membunuh demokrasi. Relakah kita bila demokrasi langsung yang bertahun-tahun diperjuangkan berdarah-darah, mati perlahan-lahan?

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)