Jakarta: Sumatera tengah dirundung duka. Dalam beberapa hari terakhir puluhan kabupaten di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh dilanda banjir dan tanah longsor yang dikaitkan dengan cuaca ekstrem. Namun banyak juga pakar yang menyebut bahwa bencana disebabkan kerusakan ekologis. Terlebih ratusan kubik gelondongan kayu yang terbawa arus dikaitkan dengan praktik illegal logging.
Korban banjir dan longsor
Jumlah korban akibat banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera kembali bertambah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan 593 orang meninggal dunia dan 468 lainnya masih hilang berdasarkan pembaruan data per Senin, 1 Desember 2025 petang.
Data tersebut disampaikan langsung oleh Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan (Pusdatin) BNPB yang memperbarui informasi secara real-time. Kepala Pusdatin BNPB Abdul Muhari, menegaskan bahwa angka yang ditampilkan merupakan data terkini yang masuk dari daerah terdampak.
BNPB mencatat, selain korban jiwa, terdapat 2.600 warga luka-luka, sementara total warga terdampak mencapai 1,5 juta jiwa. Hingga kini, 578 ribu orang masih mengungsi di berbagai titik.
Data kerusakan bangunan dan infrastruktur
Bencana banjir dan longsor di tiga provinsi di Aceh mengakibatkan sekitar 3.500 rumah mengalami ruska berat, 4.100 rusak sedang, 20.500 rusak ringan, sementara 271 jembatan mengalami kerusakan, dan sebanyak 282 fasilitas pendidikan juga mengalami kerusakan.
Pemicu banjir dan longsor
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut Siklon Tropis Senyar memicu hujan lebat hingga ekstrem di wilayah Sumatera sehingga menimbulkan banjir dan tanah longsor. Fenomena ini cukup langka terjadi.
Siklon Tropis Senyar memberikan dampak peningkatan intensitas dan memicu potensi cuaca ekstrem berupa hujan lebat hingga ekstrem, gelombang tinggi serta angin kencang di wilayah Sumatera Utara.
Ditambah lagi dengan kondisi kelembapan udara terpantau sangat tinggi sehingga kondisi udara cukup basah yang semakin mendukung potensi hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat di beberapa wilayah Sumatera Utara.
Sementara itu WALHI Sumbar menegaskan bahwa tumpukan kayu gelondongan yang menyapu pemukiman dan menumpuk di kawasan pantai bukan berasal dari pohon tumbang alami, tetapi menunjukkan pola pembalakan hutan sistematis di hulu DAS Aia Dingin, wilayah tangkapan air utama Kota Padang.
“Data satelit Maxar membuktikan penebangan itu nyata, sistematis, dan berlangsung jauh sebelum galodo terjadi. Jadi tidak ada dasar untuk menyebut itu kayu tumbang alami,” tegas Ketua Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan WALHI Sumbar, Tommy Adam.
Sementara itu Hatma Suryatmojo, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM menyatakan bencana banjir bandang di akhir November 2025 sejatinya bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Bahkan para ahli menilai fenomena ini merupakan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang kian meningkat dalam dua dekade terakhir. Kombinasi faktor alam dan ulah manusia berperan di baliknya.
“Curah hujan memang sangat tinggi kala itu, BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari pada puncak kejadian. Curah hujan ekstrem ini dipicu oleh dinamika atmosfer luar biasa, termasuk adanya Siklon Tropis Senyar yang terbentuk di Selat Malaka pada akhir November 2025. Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu,” Hatma.
Sumber: Data Pusdatin BNPB/BMKG/