Guru Besar Soroti Kebijakan Mutasi Dokter

21 May 2025 21:05

Keresahan atas arah kebijakan kesehatan nasional kembali mencuat. Ratusan guru besar dari berbagai Fakultas Kedokteran menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kebijakan yang dinilai dapat menurunkan mutu pendidikan kedokteran di Indonesia. Isu ini juga memunculkan polemik baru, salah satunya terkait mutasi sejumlah dokter. Termasuk pimpinan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Ketua Umum IDAI, Dr. Piprim B. Yanuarso, menilai mutasi dirinya dan sejumlah pengurus IDAI dilakukan tanpa prosedur yang semestinya. Ia menyebut mutasi yang terjadi sejak akhir 2023 itu sarat kepentingan dan dilakukan secara mendadak tanpa mekanisme resmi 

“Kalau alasannya pemerataan kompetensi rumah sakit, itu tidak masuk akal. Saya dimutasi ke rumah sakit yang sudah memiliki tiga konsultan tumbuh kembang. Sementara RS tempat saya sebelumnya justru jadi nol,” ujar Piprim dikutip dari Primetime News, Metro TV pada Rabu, 21 Mei 2025. 

Ia menduga mutasi tersebut terkait sikap IDAI dalam mempertahankan independensi kolegium profesi dokter dari intervensi pemerintah. “Kami menolak dualisme kolegium, dan itu mungkin jadi sebab tekanan kepada kami,” katanya.

Tak hanya soal mutasi, Piprim juga menyoroti konsentrasi kewenangan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Menurutnya berpotensi menekan suara kritis.

“Dari STR, SKP, hingga penerbitan SIP kini semuanya ada di Kemenkes. Kewenangan yang terpusat ini justru digunakan secara represif terhadap pihak yang mengkritisi,” ungkapnya.
 

Baca Juga: Puluhan Mahasiswa FK Unhas Makassar Minta Menkes Diganti
 

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, mengakui bahwa dalam praktiknya, implementasi kebijakan Kemenkes memang menimbulkan persepsi bahwa kolegium profesi telah kehilangan independensinya.

“Kolegium memang tidak lagi di bawah organisasi profesi, tapi menjadi bagian dari lembaga independen di bawah presiden melalui konsil. Namun, dalam praktiknya, muncul anggapan kolegium diintervensi oleh Kemenkes. Ini persoalan komunikasi yang harus dibenahi,” ujar Edy.

Ia menambahkan, regulasi dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 sebenarnya sudah mengatur bahwa pendidikan kedokteran adalah ranah Kementerian Pendidikan. Sementara kolegium memiliki tanggung jawab atas standar pendidikan profesi dan kompetensi tenaga kesehatan.

Menanggapi hal tersebut, Dr. Piprim justru menilai proses penunjukan kolegium yang dilakukan Kemenkes tidak transparan. “Voting hanya diikuti sebagian kecil dokter, bahkan ada yang ditunjuk langsung tanpa ikut voting. Ini jelas mencederai independensi,” katanya.

Ia pun mengkritik pola komunikasi Menteri Kesehatan yang dianggap buruk, bukan hanya kepada dokter, tapi juga terhadap masyarakat. “Kami sudah sering menyampaikan langsung, bahkan lewat diskusi. Tapi implementasinya berbeda. Banyak guru besar merasa tidak didengar,” kata Piprim.

(Tamara Sanny)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)