Terorisme di Jagat Maya Mengintai Anak dan Remaja

20 November 2025 00:09

Ancaman terorisme di Indonesia kini merambah ke ruang yang paling dekat dengan keseharian anak-anak: dunia digital. Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri mengungkap data mengejutkan bahwa sedikitnya 110 anak berusia 10 hingga 18 tahun di 23 provinsi telah teridentifikasi sebagai korban perekrutan jaringan teroris melalui media sosial dan game online.

Fenomena ini menandai pergeseran strategi kelompok radikal yang kini menyasar kerentanan psikologis generasi muda. Dalam kurun waktu setahun terakhir, Densus 88 telah menangkap lima orang perekrut yang beroperasi secara daring, dengan penindakan terakhir dilakukan pada Senin, 17 November 2025.

Modus Operandi: Dari Meme hingga Jalur Pribadi

Berdasarkan asesmen Polri, para perekrut menggunakan pola yang sistematis. Propaganda awal disebarkan melalui platform terbuka seperti Facebook, Instagram, dan fitur obrolan dalam game online. Konten yang disajikan dikemas menarik menggunakan video pendek, animasi, meme, serta musik untuk membangun kedekatan emosional dan ketertarikan ideologis.

Setelah menemukan target yang dianggap potensial, komunikasi dialihkan ke jalur yang lebih tertutup (japri) menggunakan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp atau Telegram. Di sinilah proses indoktrinasi yang lebih intensif terjadi, seringkali tanpa melibatkan pertemuan tatap muka.

Faktor Kerentanan: Perundungan dan Kesepian

Pihak kepolisian mencatat bahwa faktor psikologis dan sosial memegang peranan kunci dalam keberhasilan rekrutmen ini. Anak-anak yang menjadi korban seringkali berasal dari latar belakang keluarga broken home, kurang mendapatkan perhatian orang tua, sedang dalam fase pencarian jati diri, atau merupakan korban perundungan (bullying).

Contoh nyata dari bahaya radikalisasi digital ini terlihat pada dua kasus terbaru. Pada 24 Mei 2025, seorang remaja berinisial M (18) ditangkap di Gowa, Sulawesi Selatan, karena aktif menyebarkan propaganda ISIS. Lebih tragis lagi, pada 7 November 2025, seorang siswa berinisial F di SMAN 72 Jakarta Utara nekat meledakkan bom rakitan di sekolahnya yang melukai 96 orang.

Meskipun F dipastikan tidak terafiliasi langsung dengan jaringan teroris, motifnya berakar dari rasa kesepian akibat perundungan. Ia mempelajari cara merakit bom melalui situs gelap (dark web) dan komunitas daring, membuktikan betapa mudahnya akses terhadap konten berbahaya bagi anak yang rentan.

Perlu Payung Hukum dan Peran Orang Tua

Menanggapi situasi darurat ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan bahwa anak-anak yang terlibat dalam jaringan terorisme harus dipandang sebagai korban. Penanganan hukum terhadap mereka harus mengedepankan prinsip keadilan restoratif sesuai Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Eddy Hartono, menyatakan pihaknya kini fokus memperkuat program kontra-radikalisasi di dunia maya untuk membendung arus propaganda, rekrutmen, dan pendanaan terorisme.

Dari sisi regulasi, pengamat terorisme dan intelijen, Ridwan Habib, mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Regulasi ini dinilai penting untuk memberikan legitimasi kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dalam melakukan pemblokiran situs berbahaya secara lebih agresif.

Namun, di atas segala upaya hukum dan teknologi, Ridwan menekankan bahwa benteng pertahanan terakhir ada di rumah. Orang tua diminta untuk lebih peka terhadap aktivitas digital anak, termasuk memantau situs yang diakses dan dengan siapa mereka berinteraksi di dunia maya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Sofia Zakiah)