Bedah Editorial MI: Meretas Lonjakan Obesitas

24 June 2023 09:23

Sistem pelayanan dan infrastruktur kesehatan di Indonesia harus diakui belum berjalan efektif. Banyak persoalan kesehatan masyarakat yang masih belum mampu ditangani. Beragam penyebabnya, antara lain karena tidak meratanya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di berbagai daerah, juga kelambanan pemerintah melakukan intervensi penanganan kesehatan. 

Jangankan untuk menghadapi pandemi covid-19 yang secara nyata telah menunjukkan betapa rapuhnya sistem kesehatan nasional kita. Bahkan untuk penanganan penyakit yang terhitung klasik pun, seperti penyakit menular, gizi buruk, tengkes (stunting), kematian ibu dan anak, sampai obesitas, sesungguhnya negara ini masih kerepotan mengantisipasinya.

Padahal, kesehatan merupakan salah satu indikator target pembangunan. Kegagalan mengelola kesehatan sejatinya adalah awal dari kegagalan bangsa ini mengakselerasi pembangunan. Logika sederhana saja, bagaimana negara ini mau menggenjot pembangunan kalau masyarakatnya banyak yang tidak sehat? 

Yang terjadi, justru, karena sistem kesehatan yang lemah, pemerintah kerap lalai atau terlambat memberikan perhatian dan penanganan sehingga tidak sedikit masyarakat yang sakit tersebut akhirnya harus  menemui ajal. Kenyataan pahit itu bukan ilusi. Nyata di depan mata kita betapa banyak penyakit atau gangguan kesehatan yang mestinya bisa terkontrol, pada akhirnya gagal diantisipasi.

Kematian Muhammad Fajri, 27, pemuda obesitas dengan bobot 300 kg yang sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, selama 13 hari ialah salah satu contoh cerminan kegagalan itu. Sistem yang sudah lemah makin diperburuk dengan kepedulian pemerintah yang rendah. Maka, terjadilah pembiaran terhadap Fajri hingga memiliki bobot seberat itu tanpa sedikit pun ada deteksi.

Padahal sebelumnya Kementerian Kesehatan sendiri yang menyatakan khawatir dengan angka pengidap obesitas di Indonesia yang terus meningkat. Pada 2022 lalu, Kemenkes menyebut satu dari tiga orang dewasa Indonesia mengalami obesitas, sedangkan satu dari lima anak berusia 5-12 tahun juga mengalaminya.

Di sisi lain, pemerintahan Presiden Joko Widodo juga memasukkan penanganan obesitas ke dalam target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Sasarannya, mengurangi penduduk dewasa yang obesitas sampai 21,8%. Artinya, sebenarnya pemerintah tahu ada persoalan besar pada isu obesitas masyarakat ini.

Namun, sepertinya, target sekaligus kekhawatiran itu hanya di atas kertas. Implementasi di lapangannya minim. Intervensi pemerintah untuk mengurangi angka obesitas hampir tidak terlihat. Padahal penanganan obesitas sangat butuh intervensi. Tidak hanya intervensi penanganan secara medis, tapi juga intervensi terhadap gaya hidup yang menyebabkan semakin banyak orang mengidap obesitas. 

Sebagai bentuk intervensi gaya hidup, kenapa pemerintah tidak memberlakukan pajak atau cukai terhadap makanan minuman berpemanis atau junk food, misalnya? Kita tahu, produk-produk itu kerap mengandung gula dalam jumlah sangat tinggi dan konsumsinya terus meningkat. Kecenderungan itu tentu berdampak pada kesehatan, terutama anak dan remaja.

Pengenaan cukai semestinya bisa menjadi alat untuk mengurangi konsumsi produk-produk tidak sehat seperti itu. Kalau pemerintah mengenakan cukai tinggi terhadap produk rokok dan tembakau, kenapa makanan/minuman tersebut tidak mendapatkan perlakuan yang sama, sementara potensi penyakit yang disebabkan sama bahayanya?

Sekali lagi kita mengingatkan, kematian Fajri harus menjadi refleksi dan evaluasi pemerintah dalam penanganan penyakit degeneratif seperti obesitas, khususnya, dan penguatan sistem kesehatan nasional secara keseluruhan. Jika ini disepelekan, bukan aspek kesehatan saja yang akan terdampak, melainkan juga bakal menurunkan kualitas hidup dan tingkat produktivitas masyarakat.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Sofia Zakiah)