.
23 September 2025 16:16
Ahli Kajian Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadi Sugiono, menilai bahwa pengakuan kedaulatan Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan sebuah kemajuan signifikan yang memiliki otoritas moral kuat. Namun, efektivitas pengakuan tersebut di lapangan akan sangat bergantung pada kekuatan politik, terutama keputusan Dewan Keamanan (DK) PBB.
Menurut pandangannya, hukum internasional seringkali tidak berdaya tanpa adanya keputusan yang mengikat dari Dewan Keamanan PBB. Proses di DK PBB sendiri kerap terhambat oleh hak veto dan kepentingan strategis negara-negara anggotanya.
"Hukum internasional itu sangat bergantung pada kekuatan politik di tingkat internasional. Keputusan PBB hanya akan mengikat jika Dewan Keamanan PBB yang membuat keputusan," ujar Muhadi dikutip dari Metro Siang, Metro TV, Selasa, 23 September 2025.
Karena ketergantungan pada konstelasi politik tersebut, Muhadi menyatakan pesimismenya bahwa pengakuan kedaulatan akan serta-merta menghentikan dukungan militer kepada Israel. Menurutnya, banyak negara besar memiliki kepentingan strategis yang membuat mereka terus menjamin keamanan Israel.
"Saya pesimistis pengakuan ini akan serta-merta menghentikan pengiriman senjata ke Israel oleh negara-negara pendukungnya," kata Muhadi.
Walau demikian, Muhadi menjelaskan bahwa keputusan Sidang Umum PBB, meskipun tidak mengikat secara hukum, namun mampu membangun otoritas moral yang dapat memengaruhi opini publik global. Tekanan publik ini bisa menjadi sangat kuat. Terutama di negara-negara demokrasi yang pemerintahannya rentan terhadap sentimen masyarakat.
Di sisi lain, ia memandang kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Umum PBB sebagai sinyal positif. Hal ini menunjukkan kehadiran dan posisi penting Indonesia dalam forum diplomasi multilateral untuk terus menyuarakan isu-isu krusial seperti kemerdekaan Palestina.
Dalam kesempatan itu, Presiden Prabowo Subianto menyerukan penghentian segera perang di Gaza dan mendesak komunitas internasional untuk mengakhiri bencana kemanusiaan yang terus menelan ribuan korban jiwa, terutama perempuan dan anak-anak.