Setelah sepekan lebih menahan diri, keluarga besar PDI Perjuangan akhirnya mengutarakan suasana kebatinannya usai Gibran Rakabuming Raka dipilih Prabowo Subianto menjadi cawapres pendampingnya. PDIP mengaku terluka dan tak menyangka ditinggal oleh kader terbaiknya, Joko Widodo.
Hubungan antara PDI Perjuangan dengan keluarga Presiden Joko Widodo kini berada di titik nadir. Bangunan narasi yang beraroma serangan terhadap Joko Widodo oleh PDIP terus berhembus.
Bahkan belum usai dengan narasi perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengungkit privilege yang selama ini diberikan PDIP kepada Joko Widodo dan keluarga.
Setidaknya PDIP telah lima kali mengusung Joko Widodo di kancah pemerintahan. Mulai dari dua kali sebagai Wali Kota Surakarta, satu kali sebagai Gubernur DKI Jakarta, hingga dua periode sebagai Presiden RI.
Tak sampai di situ, PDIP juga mengusung putra sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo pada 2021. Begitu juga dengan menantu Joko Widodo, Bobby Nasution yang diusung PDIP maju sebagai Wali Kota Medan, Sumatera Utara.
"Politik itu penting etika dan adab, karena politik itu bukan sekedar jabatan, bukan sekedar kekuasaan. Bahwa politik itu adalah penaguhan sikap, etik, dan keadaban," ujar politikus PDIP Masinton Pasaribu.
Serangan lainnya yang disampaikan oleh Hasto yaitu pencalonan Gibran dinilai sebagai political disobidience atau pembangkangan politik terhadap konstitusi. Hasto bahkan mengungkap menerima pengakuan dari beberapa ketua umum partai politik yang tersandera kartu truf, sehingga keputusan diambil berdasar tekanan penguasa.
Tak hanya Gibran yang membangkang, murkanya PDIP ditambah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan batas usia capres cawapres. Hasil putusan itu terindikasi kuat adanya intervensi kekuatan politik dari luar MK.