Kasus peretasan yang makin marak di Indonesia bukan hanya soal kecanggihan hacker, tapi juga soal bobroknya sistem yang seharusnya melindungi data. Ironisnya, hacker justru 'sungkem' pada koruptor. Kenapa? Karena kalau hacker cuma mencuri data dan meminta tebusan, koruptor malah mencuri anggaran proyek keamanan itu sendiri.
Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini mengungkap dugaan korupsi di proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS). Proyek ini seharusnya menjadi benteng pertahanan siber Indonesia, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sistem keamanan bocor dan data masyarakat tersebar ke mana-mana.
Dalam penyelidikan Kejagung, ditemukan bahwa anggaran untuk membangun sistem keamanan canggih justru disalurkan ke perusahaan abal-abal. Hasilnya? Bukannya memperkuat pertahanan
siber, uang proyek malah digunakan untuk 'mengamankan' dompet pribadi.
Tak heran jika pada 2024, Indonesia mengalami serangan ransomware besar-besaran. Sistem pemerintahan lumpuh, data masyarakat bocor, dan layanan publik terganggu. Semua ini membuktikan bahwa bukan hanya
hacker yang berbahaya, tapi juga para pejabat yang lebih "jago" merampok daripada
peretas itu sendiri.
Jika
hacker meretas untuk meminta tebusan, koruptor justru "meretas" anggaran negara dengan dalih proyek. Perbedaannya?
Hacker ilegal, sementara koruptor punya legalitas proyek dan "izin" tak resmi dari jaringan mereka.
Kasus ini mencerminkan betapa buruknya pengelolaan keamanan data di Indonesia. Masyarakat diminta percaya bahwa data mereka aman, padahal nomor KTP bisa berakhir sebagai nomor antrian di aplikasi pinjaman online. Bayangkan, tidur nyenyak malam ini, besok pagi tiba-tiba punya utang di lima aplikasi
pinjol.
Kasus PDNS dan serangan ransomware 2024 membuktikan satu hal di Indonesia, di mana hacker masih kalah kelas dibanding
koruptor. Jika hacker hanya mencuri data, koruptor mencuri lebih dari itu yaitu masa depan kita.
(Zein Zahiratul Fauziyyah)