Hujan berturut-turut selama tiga hari telah meluluhlantakkan sebagian wilayah di tiga provinsi di Sumatra, dan bahkan seminggu pasca-banjir, sebagian besar wilayah masih diliputi kerusakan parah dan terisolasi.
Desa Garoga di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, kini porak-poranda setelah diterjang banjir bandang dahsyat. Wilayah ini kini menyerupai 'desa mati', dengan sebagian besar rumah hanyut dan hanya menyisakan puing-puing serta gunungan kayu gelondongan yang diduga kuat berasal dari hasil penebangan hutan di daerah hulu.
Akses Terputus, Penyaluran Logistik Terhambat
Jalan lintas vital yang menghubungkan Padang Sidempuan dan Sibolga, yang merupakan akses utama antara Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, masih terputus. Akibatnya, warga di perbatasan dua kabupaten ini menjadi saksi bisu keganasan banjir dan kini bergantung pada bantuan logistik yang dikirim oleh pemerintah dan donatur.
Proses penyaluran bantuan pun penuh perjuangan. Warga harus mengangkut bahan makanan di pundak, meniti jembatan darurat dari kayu seadanya untuk mencapai desa di seberang sungai
Tragedi Mengerikan di Desa Garoga
Hanya dalam hitungan menit, banjir bandang menyapu bersih Desa Garoga. Peristiwa naas ini mengakibatkan sedikitnya 30 orang meninggal dunia dan 20 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Permukiman yang dulunya ramai kini telah berubah menjadi padang pasir dengan tumpukan batang-batang pohon.
Risman Rambe, Kepala Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, mengungkapkan kebingungannya melihat tumpukan kayu berukuran raksasa. "Semenjak saya lahir, sudah berumur 52 tahun, tidak pernah saya melihat kayu sebesar ini," ujarnya.
Risman menduga kayu-kayu tersebut berasal dari aktivitas perusahaan perkebunan sawit di hulu sungai Garoga. Ia menegaskan bahwa kayu-kayu yang hanyut bukanlah kayu lapuk, melainkan kayu-kayu yang baru ditebang. Ia menduga kuat peristiwa ini akibat adanya alih fungsi lahan dari bekas perusahaan kayu menjadi perkebunan sawit.
Desa Garoga berlokasi bersebelahan dengan Desa Anggoli di Kecamatan Sibabangun, Tapanuli Tengah. Meski berbeda wilayah administratif, kedua desa ini sama-sama berada di kawasan hilir ekosistem Batang Toru.
Laporan di lapangan menunjukkan banyaknya gelondongan kayu yang terjebak di antara jembatan penghubung Desa Garoga dan Desa Anggoli sehingga menyumbat aliran sungai.
Ironisnya, di tanah yang subur seperti Sumatra, air seharusnya menjadi berkah. Namun, curah hujan yang tinggi ditambah dengan hilangnya hutan akibat deforestasi telah mengubahnya menjadi ancaman mematikan. Banjir bandang melaju tanpa kendali, menyapu rumah, memutus jalan, dan memaksa warga menyelamatkan diri dalam hitungan detik.
Kisah tragis ini bukan hanya fenomena musiman. Pertanyaan besar muncul: siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan ini dan sampai kapan kerusakan ini akan dibiarkan hingga Sumatra kehilangan masa depannya?