Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif timbal balik yang akan mulai berlaku besok sebagai respons terhadap defisit perdagangan yang dianggapnya sebagai Keadaan Darurat Nasional. Trump menegaskan bahwa defisit bukan lagi sekadar masalah ekonomi, tetapi ancaman besar bagi keamanan dan cara hidup masyarakat Amerika Serikat.
Dalam pernyataannya di Rose Garden, Gedung Putih, Trump menyebut bahwa AS telah lama diperlakukan tidak adil dalam perdagangan global. Merasa sudah terlalu baik selama ini, serta sudah saatnya menagih balik dengan membalas tarif tinggi kepada negara-negara yang menghadapi kebijakan timbal balik.
Tiongkok Jadi Target Utama
Dalam pidatonya, Trump menyoroti
Tiongkok sebagai negara dengan hambatan perdagangan dan manipulasi mata uang yang tinggi. Ia mengklaim bahwa Tiongkok mengenakan tarif dan hambatan nonmoneter terhadap AS dengan total 67 persen. Oleh karena itu, AS akan membalas dengan tarif timbal balik yang didiskon sebesar 34 persen.
"China mengenakan tarif 67 persen pada kita, dan kita akan membalas dengan tarif timbal balik yang lebih rendah, sekitar 34 persen. Kita bahkan masih lebih baik kepada mereka," ujar Trump.
Selain China, Trump juga menyebut beberapa negara lain seperti Bangladesh, Thailand, dan Taiwan sebagai pihak yang akan dikenai tarif serupa.
Dampak pada Politik dan Serikat Pekerja
Trump juga menyoroti perubahan dukungan politik akibat kebijakan perdagangannya. Ia mengklaim bahwa banyak pekerja otomotif dan anggota serikat buruh yang sebelumnya memilih Partai Demokrat kini beralih mendukung Partai Republik karena kebijakan proteksionis yang ia dorong.
"Pekerja, baik yang tergabung dalam serikat maupun tidak, sekarang mendukung Partai Republik. Mereka menyadari bahwa kita sedang berjuang untuk mereka," katanya.
Dengan kebijakan baru ini, Trump berharap dapat menekan defisit perdagangan dan mendorong lebih banyak produksi dalam negeri. Namun,
kebijakan ini juga berpotensi memicu ketegangan lebih lanjut dengan mitra dagang utama AS.
(Tamara Sanny)