Bedah Editorial MI: Merawat Politik Kebangsaan

4 June 2025 08:12

Pancasila telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini. Tidak hanya dalam cita-cita dan ideologi, tetapi suasana peringatan kelahiran dasar negara ini juga telah menjelma menjadi panggung rekonsiliasi tokoh-tokoh bangsa.

Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam suasana peringatan Hari Lahir Pancasila memberikan harapan bahwa meski berbeda jalur politik, para elite negeri ini tetap bisa menjaga ruang dialog dan kesantunan dalam bernegara.

Hari Lahir Pancasila bukan sekadar momen sejarah, tetapi juga panggung ideologis yang kuat. Bagi Megawati, Pancasila bukan hanya warisan ayahandanya,  juga inti dari perjuangan politik PDI Perjuangan. Sedangkan bagi Prabowo, Pancasila adalah fondasi legitimasi politik yang harus dikukuhkan di tengah dinamika nasional dan global.

Tidak salah jika banyak pihak yang membaca kehadiran Megawati dan Prabowo dalam satu forum sebagai gestur simbolik, bahwa perbedaan politik, bahkan oposisi, tetap tunduk pada nilai-nilai dasar kebangsaan. Pertemuan itu merupakan wujud kenegarawanan kedua tokoh bangsa tersebut yang melampaui urusan pragmatis politik.
 

Baca juga: Momen Akrab Megawati & Gibran Dampingi Presiden Prabowo

Inilah yang tentu diharapkan rakyat, sikap politik berbeda bahkan bersebrangan adalah hal biasa dalam demokrasi, namun kesejukan dan keakraban antarelite harus mampu melampaui kepentingan politik praktis. 

Gestur keduanya yang hangat dan terbuka juga telah mencairkan residu rivalitas dan menurunkan tensi politik pasca-Pilpres 2024. Gandengan tangan Prabowo untuk Megawati telah menggambarkan keakraban keduanya telah terjalin lama, bukan sekadar kedekatan seremonial.

Ketika elite bangsa menebarkan kesejukan, tentu diharapkan bisa memberikan efek domino ke tataran alit untuk melupakan rivalitas politik dan fokus bagi pembangunan bangsa di tengah tekanan global yang tidak baik-baik saja.

Tentu kita perlu angkat topi untuk Prabowo yang bersedia untuk mengenyampingkan rivalitas politik kekuasaan demi menonjolkan politik kebangsaan. 

Selain itu, apresiasi tinggi bagi pemerintah yang bersedia memundurkan upacara peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 ke tanggal 2 Juni demi menyesuaikan dengan agenda Megawati menjadi poin penting terlaksananya panggung rekonsiliasi ini.

Namun, di balik simbolisme kebangsaaan itu, setiap pertemuan tokoh politik juga tidak bisa dilepaskan dari sudut pandang politik praktis. Apalagi realitas politik, batas antara politik kebangsaan dan politik kekuasaan sering kali kabur.

Apalagi, sering kali pertemuan elite yang dibungkus dengan narasi kebangsaan, tetapi di balik layar merupakan bagian dari kalkulasi untuk membagi atau menjaga akses terhadap kekuasaan negara. Dalam konteks ini, pertemuan tersebut membuka ruang tafsir baru terhadap relasi antara dua tokoh sentral dan partai yang mereka pimpin.

Selain itu, pertemuan ini juga telah menempatkan Prabowo sebagai tokoh pemersatu, membuka ruang dialog bahkan dengan partai yang secara formal menjadi oposisi. Di sisi lain, pendekatan Prabowo ini juga bisa dibaca sebagai strategi untuk melunakkan oposisi politik, berupaya menetralkan potensi oposisi dengan pelukan simbolik.

Apa pun tafsirnya, apakah pertemuan ini bentuk komitmen politik kebangsaan ataukah strategi politik, yang jelas, pertemuan Megawati dan Prabowo menjadi penanda penting bahwa dalam politik Indonesia, perbedaan bukan akhir, dan dialog antarkekuatan adalah bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)