Pemilu Tanpa Politisasi SARA
N/A • 20 May 2023 08:44
Isu agama dan etnik ternyata masih menjadi persoalan serius setiap kali negeri ini menggelar pesta demokrasi. Pun dengan Pemilu 2024, kedua isu itu masih saja dijadikan senjata oleh para petualang politik untuk menjatuhkan lawan demi mengangkangi kekuasaan.
Agama dan etnik atau ras yang masuk klaster SARA sejatinya bukan isu yang baru. Ia sudah lama, sangat lama, ada seiring terbentuknya negara ini. Ia keniscayaan yang membuat bangsa ini lebih berwarna karena dibangun berpilarkan perbedaan. Di lain sisi, isu SARA juga menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan jalinan persatuan sesama anak bangsa. Hanya dengan kesadaran dan komitmen di bawah payung Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika kita mampu memadamkan sumbu bom itu sehingga tak benar-benar meledak hingga kini.
Namun, harus kita akui pula, bibit-bibit bahwa isu SARA bisa menjadi pangkal musibah sudah dan terus tumbuh. Ia dijadikan senjata oleh para pemburu kekuasaan untuk memenangi persaingan dengan cara yang kotor. Mereka paham betul banyak masyarakat yang masih gampang diracuni sentimen agama, sentimen kedaerahan, ras, etnik, atau golongan. Mereka mengapitalisasi betul isu-isu rawan itu semata demi merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Tanda-tanda buruk bahwa isu SARA tetap akan dijadikan senjata di Pemilu 2014 pun mulai jelas terbaca. Di media sosial, para buzer tiada henti menebarkan narasi kebencian, hoaks, hingga fitnah berbasis SARA. Kampanye hitam pun terus dilakukan untuk menghancurkan rival junjungan mereka. Celakanya lagi, para elite politik tak mau ketinggalan berlaku menyimpang.
Contoh terkini ialah Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Laode Umar Bonte. Dia terang-terangan menolak capres Anies Baswedan dan menyudutkannya dengan narasi-narasi rasis. Kata Laode, yang pantas menjadi presiden Indonesia ialah putra-putra asli Indonesia yang memiliki darah keturunan dari Indonesia. Menurut dia, Anies bukanlah putra asli Indonesia meski lahir dan besar di negeri ini. Nenek moyang Anies berasal dari Arab.
Laode bahkan menganalogikan eksistensi Anies dengan kolonial Belanda. Menurutnya, Belanda menjajah Republik Indonesia selama 350 tahun, memiliki anak cucu dan lahir di Indonesia, tetapi mereka tetap saja penjajah, bukan bangsa Indonesia. Narasi itu sungguh mengerikan. Sulit diterima akal sehat seorang ketua organisasi pemuda ternama masih menjadikan SARA untuk kepentingan politik.
Ada pula seorang ketua umum partai politik yang bermain-main dengan SARA. Dia mengklaim bahwa seluruh warga keturuan Tionghoa mendukung Presiden Jokowi dan akan 'manut' pada referensi Jokowi soal capres yang layak didukung nanti.
Klaim semacam itu jelas tak elok dan mengotak-ngotakkan masyarakat Tionghoa. Menggunakan SARA sebagai senjata untuk mendulang elektoral jelas berbahaya. Ia hanya akan memantik polarisasi, menebalkan perpecahan.
Siapa pun, dari kubu mana pun, pantang melakukan itu. Pada konteks itu pula, tepat kiranya langkah Komisi Pemilihan Umum menggandeng Majelis Tinggi Agama untuk membantu mencegah isu agama dicampuradukkan dengan politik menjelang pemilu.
KPU dan tokoh-tokoh agama menyadari benar betapa besar daya rusak politisasi SARA dalam perebutan kekuasaan. Tak cuma tokoh-tokoh agama tentu saja, mencegah politisasi SARA perlu juga dilakukan bersama tokoh-tokoh masyarakat dan elite-elite politik. Imbauan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat tak akan maksimal jika elite politik tak punya komitmen yang sama. Pun dengan penegakan hukum, ia mutlak dikedepankan agar para pemain politisasi SARA jera.
Memainkan SARA dalam politik ialah perilaku primitif. Kalau tak ingin disebut primitif, tinggalkan model berkompetisi dengan cara seperti itu.
(M. Khadafi)