Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) akan menerapkan program pendidikan militer bagi siswa SMA/SMK yang terlibat tawuran dan balap liar. Program ini dijadwalkan mulai berjalan pada 2 Mei 2025 dan melibatkan kerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta Polri.
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menyatakan program pendidikan berkarakter itu bertujuan membina siswa yang dinilai sulit dibina agar tidak terjerumus dalam perilaku negatif. Pendidikan militer akan dilaksanakan secara bertahap, dimulai dari daerah yang dianggap rawan.
Selama enam bulan, siswa yang terpilih akan tinggal di barak tanpa mengikuti sekolah formal. Sebanyak 30 hingga 40 barak disiapkan untuk mendukung program ini. Biaya pelaksanaan ditanggung bersama oleh pemprov dan pemerintah kabupaten/kota (Pemkab/Pemkot).
Namun, rencana ini menuai beragam tanggapan. Pengamat kebijakan pendidikan Prof. Cecep Darmawan menilai, meski niat program ini baik, penerapannya perlu kajian lebih mendalam. Ia menekankan pentingnya kebijakan berbasis riset dan mempertimbangkan aspek edukatif.
"Kebijakan itu harus berbasis pada hasil kajian. Setiap siswa yang bermasalah bisa berbeda-beda persoalannya, jadi jangan ujug-ujug dimasukkan ke pendidikan militer," ujar Prof. Cecep seperti dikutip dari
Newsline Metro TV, Senin, 28 April 2025.
Menurutnya, karakter siswa sebaiknya dibina lewat pendidikan karakter yang melibatkan berbagai pihak, bukan hanya TNI. "Harus ada ahli pendidikan, ahli psikologi, guru bimbingan konseling, dan pembina
OSIS yang dilibatkan. Ini institusi pendidikan, bukan sekadar penegakan disiplin," tegasnya.
Prof. Cecep juga mengingatkan risiko ketertinggalan akademik bagi siswa yang mengikuti program tersebut. Dia mempertanyakan kejelasan kurikulum selama enam bulan pendidikan militer berlangsung.
"Kalau tidak ada kaitan dengan pembelajaran akademik, siswa bisa ketinggalan. Setelah enam bulan, mereka mau masuk semester berapa? Ini harus dikaji ulang dengan melibatkan berbagai
stakeholder," ujar Prof. Cecep.
Prof. Cecep menyarankan agar program ini tidak terburu-buru dilaksanakan. "Walaupun niatnya baik, caranya harus lebih edukatif. Anak-anak yang disebut nakal saja yang dibina itu kurang pas. Pendidikan karakter harus diberikan kepada semua siswa, bukan hanya kelompok tertentu," katanya.
(Zein Zahiratul Fauziyyah)